Namaku Aine

oleh: SEFRIANDINI

Namaku Aine. Orang tuaku memberikan nama ini dengan tujuan agar menjadi doa di setiap kali seseorang memanggilku. Besar harapan mereka terhadapku agar suatu saat nanti aku menjadi orang yang sukses dan bahagia. Mereka tak menginginkanku menjadi milyader, punya pernak-pernik barang mewah, ataupun punya aset kekayaan dimana-mana. Mereka hanya ingin aku bahagia dan sukses menjalankan visi di dunia. Ya, visi sebagai manusia yang bermanfaat dan memberi impact kepada masyarakat. Pandangan mereka terhadap dunia begitu sederhana dan aku menyukainya. 

Mama hanya tamatan SD. Papa lulusan S3, SD-SMP-SMK. Mereka tak bergelar namun mampu menyekolahkanku hingga saat ini. Menjadi bagian dari darah daging mereka adalah suatu kebanggaan bagiku. Bagaimana tidak, mereka yang mengajariku bagaimana menjadi manusia, menjadi kuat, menjadi sederhana, dan hal-hal lainnya yang mungkin tak didapatkan oleh teman-temanku. Aku tak pernah malu memiliki mereka, justru aku akan merasa malu jika aku gagal membuat mereka bahagia.

Sedari kecil, aku sudah diajari untuk bermimpi. Bermimpi untuk berani tampil contohnya. Dulu aku sangat menyukai mengoleksi isi binder dan menjualnya kepada teman-temanku. Kata Mama, “Jangan gengsi dong kalau mau jualan!”

Bagian yang paling menyenangkan selain mengoleksi dan menjual isi binder adalah  mengisi biodata di beberapa kertas binder pada templat yang sudah tersedia. Ditambah lagi, templat yang dihiasi oleh gambar-gambar yang unik. Ada yang gambar barbie, mickey mouse, hello kitty, dan lain sebagainya. 

“Ma, ini ada kolom motto hidup. Motto hidup apaan ya, Ma? Aku isi apa, nih?” tanyaku penasaran karena motto hidup adalah kata-kata yang baru sekali aku jumpai.

“Isi aja, Jangan menyerah dan teruslah bermimpi setinggi langit” jawab Mama, tenang. Singkat tanpa memperjelas maksud dari kalimat yang baru dia ucapkan.

Mama memang tipe orang yang tidak suka hal bertele-tele. Bahkan menyampaikan sesuatu harus dengan kalimat pokok tanpa kalimat penjelas. Bagaikan rumah yang hanya diketahui terasnya saja.

Namun berbeda saat ia berpanas hati. Petirnya akan muncul dan menyambar dalam waktu yang lama. Tak mengenai fisik, tapi menyentuh hingga kalbu. 

“Kau belajar yang rajin! Aku dulu nyesel nggak sekolah karena harus nyari duit, harus berjalan berkilo-kilo meter untuk mencari penjual” kata Mama, sekitar 10-15 tahun yang lalu.

“Kau mah enak, hidup tinggal hidup. Mau belajar, tinggal belajar. Mau tidur, ya tinggal tidur tanpa perlu mikirin besok mau makan apa. Tak ada pikiran yang bercabang tentang biaya sekolah pribadi dan adik-adik. Hidup kau jauh lebih enak daripada masa kecilku yang sudah aku korbankan demi mencari sesuap nasi” sambungnya.

“Kau enak, syukuri!” tegasnya sekali lagi.

Mama memang galak, selalu merepet-repet setiap kali aku melakukan kesalahan. Kesalahannya hanya satu, tetapi kalimat repetannya bisa sepanjang Jalan Pekanbaru hingga Maluku. Iya, panjang. Panjang sekali. 

Sewaktu kecil, aku sangat membenci suara kicauan Mama. Begitu nafasnya mulai terdengar olehku, aku langsung menuju kamar dan menutup pintu lalu mendengarkan musik agar hatiku tak mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dan itulah tipikal ku, tak ingin mendengar apapun yang membuat hatiku terluka.

“Mama, kenapa sih suka banget ngomel-ngomel begitu. Kan aku ga suka. Aku rese banget dengernya, Ma” kataku mencoba memberanikan diri menyatakan perasaanku selama ini setelah ia memberi ceramah pada malam hari itu. Senyap, hening. 

“Nanti kalau kau sudah dewasa, kau akan paham” jawabnya, pelan.

Kini umurku sudah beranjak dewasa. Aku sudah paham betul kalimat-kalimat yang seringkali Mama lontarkan dulu. Itu semua berkat luka bakar yang menghantamku saat memasak air. 

“Mama….”

Menjadi bagian dari darah daging mereka adalah suatu kebanggaan bagiku. Bagaimana tidak, mereka yang mengajariku bagaimana menjadi manusia, menjadi kuat, menjadi sederhana, dan hal-hal lainnya yang mungkin tak didapatkan oleh teman-temanku.

“Tolong, ini pedih banget, aku ga kuat, Ma” teriakku sambil berusaha kuat-kuat menahan tangis supaya sekresi kelenjar lakrimal tidak keluar dari mataku.

“ALLAHU AKBAR” teriak histerisnya saat melihat kulit pada kedua tanganku yang mulai melepuh.

“Ayo ikut Mama, kita ke rumah Ibu Ris sekarang!” Ibu Ris adalah bidan terdekat dari rumahku. Beliau banyak membantu kami mengenai kesehatan sehingga tak jarang Mama berkonsultasi padanya. 

“Ini perlu penanganan serius, lukanya dapat dikategorikan sebagai luka bakar tingkat 4, level terparah pada luka bakar” kata Ibu Ris, kaget. 

“Luka bakar akibat air panas umumnya berada pada derajat luka bakar tingkat satu atau dua. Namun, berbeda dengan Aine, lapisan kulit luarnya terlalu tipis sehingga air panas menembus ke lapisan dalam kulitnya” sambung Ibu Ris menjelaskan kondisiku pada Mama.

Saat itu Mama hanya diam. Tak menjawab pernyataan yang baru saja Ibu Ris lontarkan. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Pikiranku mulai berjalan kemana-mana menuju beberapa konklusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengelilingi.

‘Apa aku ngerepotin mama, ya?’

‘Biaya pengobatan mahal gak, ya?’

‘Aduh, kenapa sih tadi aku ga hati-hati’

Luka bakar itu cukup lama aku rasakan. Berminggu-minggu sudah waktu aku habiskan tanpa melakukan apapun selain makan dan tidur. Di salah satu waktu itu, aku terjaga pada sepertiga malam, kudengar isak tangis dari ruang ibadah. Aku mencoba mengintip dan ternyata Mama sedang menadahkan tangan pada Tuhan yang Maha Esa.

“Ya Allah, berikanlah anak hamba kesembuhan. Sesungguhnya segala penyakit itu datangnya dariMu dan aku yakin akan kembali padaMu juga, Ya Allah. Hamba rela jika luka itu ada pada hamba, sungguh tak tega melihat angus pada kedua tangannya”

Air mataku jatuh tanpa sengaja, tanpa aba. Aku tak pernah melihat Mama sesedih ini sebelumnya. Ia yang aku kenal sebagai sosok yang menyeramkan mendadak berubah menjadi malaikat tak bersayap.

Khawatir jika ketahuan, aku langsung bergegas menuju kamar dan lanjut merebahkan badan sambil menatap langit-langit kamar. Satu demi satu aku buka kembali memori kejadian sebelumnya, mengingat-ingat lagi apa yang kurasakan dan kupikirkan di dalam situasi sebelumnya.

‘Mama kemaren buat kue banyak banget ya sampai begadang. Tampak kelelahan, keringatnya bercucur banyak, matanyapun udah kayak mata panda’

‘Mama juga yang nyuapin aku makan, ngasih obat tepat waktu, ngomelin aku supaya aku selalu istirahat’

‘Mama juga yang ga pernah ngeluh dengan keadaanku walau aku sendiri sering banget ngeluh kesakitan saat mama mengolesi salep ke kulitku’

‘Papa Mama kerja keras, nyari uang kesana kemari untuk pengobatanku, mereka hebat banget, ya’

‘Papa rela berpanas-panasan memasang atap rumah dan membetulkan listrik tetangga tanpa menghiraukan konsekuensinya’

‘Mereka pikul semua asal aku bahagia’

Malam itu air mataku tumpah dengan deras menandakan bahwa aku tak kuat mengingat pengorbanan mereka. Mereka begitu menyayangiku. Seolah-olah ada seseorang pada bagian diriku yang bercerita dan menyadarkanku akan sifat keras kepalaku selama ini: tidak mau mendengarkan nasehat dari orang tua. 

Sejak kejadian itu juga, aku mulai berambisi untuk membalas jasa-jasa mereka. Aku bertekad menjadi orang yang sukses. Pagi hingga malam, aku habiskan waktu bersama buku-buku. Tak kupedulikan ajakan teman untuk menonton bioskop ataupun ajakan orang tua saat ingin berkunjung ke rumah saudara. Semua waktu aku gunakan sebaik mungkin untuk memahami materi pelajaran, latihan soal, dan mengulanginya.

Namun, dibalik ambisiku, Papa kurang menyukainya. Setelah makan malam, ia mengajakku berbincang. Awalnya aku menolak karena masih banyak ilmu yang perlu aku gali. Namun, ia  tetap saja memaksaku.

“Maaf, Pa. Aku masih banyak kerjaan nih, deadline tugas pada deket-deket” bujukku.

“Kamu belajar untuk apa sih sebenarnya, kok gitu banget ih” potongnya sebelum aku masuk kamar.

“Ya… supaya pinter” jawabku, singkat.

“Terus?” tanyanya, ingin mengetahui niatku”

“Ya, dapet nilai bagus dong Pa, masuk perguruan tinggi negeri terbaik. Jadi, mudah deh buat nyari kerja yang bagus” jelasku.

“Jadi, niat kamu belajar buat nyari kerja?” tanyanya sekali lagi.

“Ya, iya dong. Kan ujung-ujungnya bakal ke dunia kerja, Pa” jawabku dengan percaya diri.

“Nggak begitu, sayang.” jawabnya, lembut. 

“Kalau kamu emang pinter. Coba bacakan tujuan negara pada alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”

“Hmm..” ungkapku sambil berpikir. “Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, Pa” 

“Yes, salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan?”

Aku mengangguk.

Pandangan mereka terhadap dunia begitu sederhana dan aku menyukainya. 

“Cerdas itu beda banget sama pinter, Ne. Orang cerdas pasti bakal pinter, tapi orang yang pinter belum tentu cerdas.”

“Hmm…” gumamku yang mulai bingung tentang apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Papa.

“Kamu boleh jadi orang yang pinter, Ne. Boleh banget. Kamu boleh mencapai segala impianmu dibidang akademik. Namun, bisakah kamu cerdas dalam perkara rumah ini? Bisakah kamu mandiri mengerjakan pekerjaan rumah tanpa aba dari Mama? Bisakah kamu memiliki empati pada siapapun agar hidup ini bukan tentang kamu saja. Banyak orang diluar sana yang perlu bantuan kamu, Ne”

Aku diam. Tak tahu harus merespon apa.

“Aine..”

“Ya, Pa”

Kamu boleh berkompetisi mendapatkan skor terbaik, tapi kamu tak boleh lupa, bahwa kompetisi yang sebenarnya adalah antara kamu dan waktu.”

“Kita tak hidup selamanya dan menjadi berguna adalah pilihan hidup, Ne”

Aku terdiam. Kucoba resapi kata per kata yang diucapkan Papa.

“Banyak orang yang telah meninggal, tapi nama baik mereka tetap kekal. Dan banyak orang yang masih hidup, tapi seakan mereka orang mati yang tak berguna.”

“Iya, Pa. Seperti doa semoga panjang umur yang diucapkan orang-orang saat ulang tahun ya, Pa?”

“Yap. Jadi, kamu tau apa tujuanmu belajar?”

“Tau, Pa. Menjadi manusia. Manusia yang berguna.”

Pekanbaru, 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *