Garin

Oleh: Yudhi Andoni

Warna langit kuning kemerah-merahan terlukis di langit, sekali-kali di sampiri awan putih. Kabut turun diiringi uap air, perlahan suara beburung mulai senyap. Pertanda senja telah datang.

Bulan setengah sejak tadi tampak menggantung, nak menjadi suluh di langit kala malam. Bagi orang-orang kampung ini sudah saatnya masuk rumah. Meski langit masih terang, sore-sore seperti ini memang membuat penduduk kampung lebih memilih duduk-duduk di dalam rumah karena dingin.

Syahdan menutup gerai jendelanya yang tertiup angin. Ia baru saja pulang dari ladang. Pada musim kini memang lebih enak berladang kacang tanah. Hujan ringan yang turun di sore dan pagi hari lebih menyegarkan tanaman kacang tanahnya. Kalau sudah cukup umur ia ingin menjualnya ke pasar tengah kota. Kalau dijual ke pengumpul tak berapa dia dapat, alasannya berapa pula ongkos yang dikeluarkan mereka untuk sampai ke kampung ini.

Kampung ini memang agak jauh jaraknya dari pusat kota. Kampung ini terletak di kaki bukit. Oleh proyek pembangunan pemerintah, jalan ke kampung ini telah diaspal. Listrik pun telah lama masuk, juga tv. Makanya orang lebih senang di rumah kalau sudah sore, bisa nonton tv dengan acara-acaranya yang menyenangkan mereka.

Syahdan punya satu tv berwarna yang dibelinya dari hasil penjualan panen jagung beberapa bulan lalu. Cukup mahal, tapi tak apa menurutnya karena orang-orang kampung pun sudah punya, hanya keluarganya saja yang belum. Awalnya malu juga setiap malam cuma dia dan Mak Kirai, empunya lepau, yang menghangatkan bangku reot lepau itu. Sudah ia katakan pada Mak Kirai, belilah tv dan letakan di lepaunya. Kan orang-orang bisa ramai lagi datang ke lepau seperti dulu.

“Terserah orang-orang itulah Dan. Mau datang ke lepau buruk awak ini atau tidak.”

“Ya lah, Mak. Tapi kalau begini kan lengang pula kita punya kampung jadinya. Tak seperti dulu lagi. Orang-orang datang dan bergunjing di sini. Atau main domino, berkoa…”

“Hahaha, mana orang mau lagi dengar bual si Kari, enaklah nonton acara tv yang ada gosip artis-artis Jakarta itu…”

Begitulah selalu jawaban Mak Kirai ketika Syahdan mendesaknya. Akhirnya memang lama-lama tak ada lagi orang yang datang minum kawa atau main koa semalam suntuk ke lepau Mak Kirai kecuali anak-anak, begitu juga Syahdan.

“Ah, sudah maghrib pula di Jakarta?” pikir Syahdan. Ia ingin ngalai-ngalai dulu sebelum shalat, mungkin sekitar setengah jam lagi. Waktu masuk shalat di di tv itu dan kampung ini berjarak sekitar 30 menit.

“Dan, Syahdan! Shalatlah dulu, udah masuk maghrib!,” teriak amaknya dari dalam.

“Ha?!”

“Belum waktunya, Mak! Itu waktu Jakarta!” sahut Syahdan.

“Hee, tak dengar kau itu suara azan dari Surau Labai Tuo!” Amak menghampiri Syahdan ke depan.

“Sejak kapan ada garin baru di surau itu, Mak?”

“Baru sore ini mulainya. Tadi siang Pak Ismoyo bilang ke Amak kalau bisa induk-induk ngumpul lagi di Surau Lebai Tuo itu untuk pengajian. Kan sudah ada garinnya.”

Wah, ini kejutan baru pikir Syahdan. Ia ingin sekali bertemu garin itu, berbincang-bincang soal agama, atau kenapa ia ingin jadi garin di surau tua itu. Sejak lama surau itu lengang karena tak ada garin yang menghuni. Dulunya ada Gaek Indomo, duda tua yang kematian bini. Tapi setelah ia meninggal surau itu tak lagi ramai kecuali hari-hari tertentu, dan itu pun makin lama-makin sedikit orang mau bikin hajatan di surau.

Orang-orang kampung, bahkan Pak Ismoyo yang dituakan pun sudah rasan pula mulutnya meminta dan memohon ke anak-anak lulusan sekolah agama di Karanmutiah ini melanjutkan kerja Gaek Indomo. Tak ada yang mau. Inginnya ke kota dan jadi pegawai saja. Itulah garis nasib surau Labai Tuo kini, sudah dikeramatkan orang kampung, sama saja derajatnya dengan kuburan di sudut kampung.

 

***

Surau Labai Tuo konon dibangun Syech Abdurrahman al Nawawi. Beliau itulah mula-mula yang kembali mengislamkan orang-orang kampung ini. Beliau itu seorang ulama tersohor di seantero darek. Satu waktu beliau turun ke pesisir hendak berdakwah, tapi di tengah jalan ia pun disamun orang karena disangka pedagang kaya dari darek. Karena pertolongan Tuhan, para penyamun itu dapatlah ia kalahkan bahkan mereka diajak bertobat.

Singkat cerita, sang syech pun mau menetap barang sebentar mengajar ilmu agama dan ilmu lain di kampung gerombolan penyamun itu. Kampung inilah kampung penyamun itu, dan di surau inilah si syech tinggal sementara.

Tersenyum si garin mendengar cerita Syahdan. Tak dapat Syahdan menangkap maksud senyum itu. Ia tak tersinggung, karena demikianlah cerita sejarah kampung ini dan surau Labai Tuo.

“Jadi bagaimana menurut engku-engku mudo soal kampung kita ini? Adakah engku berdua suka di sini?”

“Ehm. Pertama saya minta maaf pada Uda Syahdan tidak usah memanggil kami berdua dengan sebutan engku. Kami tidak biasa. Uda Syahdan dapat panggil saya Anwar dan kawan saya ini Rasyid.”

“Kami berdua cukup happy menjadi ustad di surau ini. Surau ini antik dan punya sejarah menarik seperti Uda Syahdan ceritakan tadi. Tapi tolong jangan Uda Syahdan dan orang kampung salah mengerti keberadaan kami. Kami dan Pak Ismoyo sudah mendiskusikan kalau keberadaan kami di sini cuma sementara.”

“Benar, Syahdan. Adik-adik ini adalah mahasiswa, dan kebetulan butuh tempat kos. Nah, kan surau kita punya kamar untuk bisa ditempati mereka sekalian menghidupkan kembali surau ini dan mengajar anak-anak dan induk-induk kita mengaji,” Pak Ismoyo coba menerangkan.

Syahdan diam. Pikirnya..yah, sudahlah.

Sejak kedatangan para garin baru itu, ramai lagi orang datang ke surau Labai Tuo. Anak-anak mulai mengaji dan terdengar suara mereka ribut-pikuk di speaker surau. Demikian jua alunan suara berat induk-induk pas menjelang subuh dan maghrib. Syahdan merasa dibawa kembali ke masa-masa lama ketika Gaek Indomo masih jadi garin.

Gaek Indomo garin terlama dan terakhir yang dipunyai surau Labai Tuo. Tak tahu Syahdan sejak kapan Gaek Indomo menjadi garin. Sejak ia kecil sudah beliau yang menjadi guru mengaji sekaligus guru silat Langkah Tiga di kampung ini. Selepas sembahyang Isya, anak-anak berkumpul di halaman surau dengan ditemani lampu strongkeng, lampu yang dipompa lebih dulu. Gaek Indomo kemudian meminta maju dua orang ke sasaran dan bermain silat.

Saling intip, saling intai, menggelek, sipak, dan jatuh. Keduanya bagai bergelut, tapi bila diperhatikan ujung tangan dan siku bila tak hati-hati sudah melenggang saja ke rusuk, ulu hati, atau ke bawah pusar salah seorang. Dua-dua orang maju ke sasaran. Terakhir barulah Gaek Indomo meladeni satu-satu dan menunjukan cara mengelak, mengunci, dan melepas kunci dari tangan lawan.

Syahdan paling suka bersilat. Silat itu nak mencari kawan, kata Gaek Indomo satu kali. Lawan tak dicari, bila bertemu pantang dihindari meski kita berkalang tanah dibuatnya.

Sering Syahdan dan dua kawannya setelah orang berlatih silat di sasaran diam-diam masuk lagi ke bilik surau, mengintip Gaek Indomo. Bila mereka lihat beliau sudah tidur, secepat kilat mereka menyergapnya. Ada yang langsung memegang kaki karena ini yang paling cepat, tangan, dan Syahdan menyorongkan tangannya ke ulu hati Gaek Indomo. Seperti yang sudah-sudah, tak satupun serangan yang masuk. Tiba-tiba kaki Gaek sudah melilit tangan si penyerang, yang memegang tangan mengerang kena tempeleng, dan leher Syahdan sudah tertekuk oleh tangan Gaek.

“Ampuunn Gaek..” erang mereka.

“Hahaha..itulah akibat menyerang diam-diam.”

“Jangan kalian lupa, yang diam dan lengah belum tentu mudah diserang. Justru yang tampak kuat kalau kita bisa perhatikan banyak celah lemahnya.”

“Silat itu bukan untuk menyerang orang yang lagi lemah keadaannya. Menyerang itu tanda hati tak bersih, dan lihat akan ada-ada saja kelemahan kalian yang tampak. Silat Langkah Tiga ini intinya pada hati, siapa yang menyerong di hati alamat binasa di badan.”

Ketiganya diam. Kalau sudah seperti itu, Gaek Indomo akan mengurut mana-mana yang kena tangan dan kakinya. Mereka dapat dikatakan murid paling disayang. Tak jarang ketiganya menemani Gaek Indomo tidur di surau dan diceritakanlah pengalamannya masih muda dulu.

Syahdan baru tahu kalau Gaek Indomo orang kampung ini juga. Tapi keluarganya sudah habis dibunuh kaum Kuminih ketika zaman luar-dalam dulu, atau masa peri-peri kata orang kampung sebelah. Ia dengan kakaknya dilarikan adik bapaknya ke Jawa. Setelah berpuluh tahun ia kembali ke kampung ini mencari kalau ada sanak keluarganya yang masih bisa dijumpai. Tak ada lagi yang tersisa, cerita Gaek Indomo. Semuanya mati dibunuh karena dianggap pengkhianat.

Gaek Indomo tak punya anak. Ia pernah menikah dengan orang Betawi, tapi tak dikaruniai anak. Setelah istrinya meninggal ia ingin balik ke kampung, dan orang kampung berbaik hati mensilahkan ia tinggal di surau Labai Tuo. Rumah lamanya kini sudah dimiliki tentara, dan Gaek Indomo takut sangat pada tentara itu.

Sudah sering Syahdan menyaksikan ada darah di batuk Gaek Indomo ketika itu. Ini batuk orang yang sudah tua, katanya. Dan batuk itu jua yang mengantar Gaek Indomo ke pintu kubur. Banyak pelajaran hidup didapati Syahdan ketika Gaek Indomo jadi garin. Ilmu hayat dan ilmu dunia. Kita mesti paham, mana yang dibawa mati dan mana pula yang akan dibawa pulang ke hadirat Illahi. Janganlah mencari lawan, pandai pun kau bersilat tetap saja menang jadi arang kalah jadi debu dan dalamnya hati tak bisa didasari. Dendam itu bak minyak dalam air, itulah ujaran terakhir Gaek Indomo sebelum ia meninggal.

Syahdan tak tahu apa yang diajarkan garin baru itu pada nak orang yang muda-muda itu. Ia jarang ke surau, akhir-akhir ini babi banyak keliaran di paraknya dan membongkar kacang tanahnya yang baru berisi. Hanya dari amaknyalah ia dapat mengetahui perkembangan surau.

 

***

“Ee, tak bisa begitu, Mak. Mengapa pula nama surau kita itu diganti jadi Mushala Nurul Ilmi.”

“Ya.. kata Pak Ismoyo sama orang kelurahan itu kalau mau dapat bantuan dari Pak Wali, namanya mesti diubah. Surau itu rencananya mau dirobohkan dan diganti dengan bangunan batu baru. Nanti ada kelas-kelas untuk anak ngaji TPA.”

“Itu kan menghilangkan sejarah kampung kita ini jadinya, Mak. Bagaimana pula pikiran orang atas itu. Lalu garin muda, mahasiswa itu, apa pula pendapatnya?”

“Nak orang itu sudah berhenti jadi garin.”

“Ha, ada pula orang mau berhenti jadi garin, kalau gitu berhenti pula dia beragama, bertuhan.”

“Tahulah.., waang tanyalah sendiri sama Pak Ismoyo! Seperti induk-induk saja cerewet ang tu. Buat Amak, terserahlah yang penting ramai orang ke rumah Tuhan dan anak-anak pandai mengaji!”

“Kata Pak Ismoyo kenapa kedua garin itu berhenti, Mak?”

“Kata Pak Ismoyo garin itu nuntut janji apa itu…gaji, komputer sama nternet-nternet gitulah. Itu harganya mahal, tapi dulu kalau tak bisa mengapa pula dijanjikan. Jadi yah, gitu deh..”

“Amak sudah kerasukan acara di tv itu pula bahasanya..”

Surau Labai Tuo akan menjadi Mushala Nurul Ilmi? pikir Syahdan. Kalau pakai nama lama apakah tak berislam kita jadinya? Ia masih belum bisa merima, bagaimanapun ada banyak cerita dan kenangan di Surau Labai Tuo, dan ia yakin hampir seluruh penghuni kampung ini menitipkan rindu kelaluan mereka pada surau tua itu.

Entahlah. Tak masuk di jalan pikirnya juga kalau ada orang muda berhenti jadi garin gara-gara tak ada komputer dan internet terpasang di surau, dan tak ada gaji! Yah, sudahlah…! Zaman sudah berubah, mungkin begitu juga nasib Surau Labai Tuo itu.

“Mau, kemana kau Syahdan?!

“Mau menyiangi kacang tanah di parak, Mak. Banyak babi kini!”

 

 

Padang, Maret 2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *