Urang Minang di Panggung Sejarah

Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas

kato.id/6 Agustus 2023

Barangkali, meski banyak tidak sepakat, kalau peran orang Minangkabau dalam panggung sejarah kebangsaan Indonesia, berutang pada kondisi kolonialisme. Alam modernitas yang muncul dalam Negara Kolonial Belanda sejak awal abad ke-20 memberi rangsangan kemajuan orang Minangkabau. Meski terdapat batasan mereka yang dapat menikmati sekolah-sekolah Barat milik pemerintah kolonial di beberapa daerah di Hindia-Belanda, namun hal ini tidak terlalu berlaku dalam masyarakat Minangkabau.

Bagaimanapun juga, dalam sistem kekeluargaan badunsanak yang setali darah atau setali-paruik membuka jalan bagi anak-anak biasa memasuki alam kemodernan itu. Mereka dapat saja diterima satu sekolah tersebab mamak, ayah, atau keluarganya yang lain menjadi guru di sekolah-sekolah dasar pemerintah. Plus, rasa kebangsaan yang kuat sejak dekade pertama abad ke-20 diantara para kaum terdidik baru, yang mendirikan sekolah-sekolah partikelir mereka, membuat sebagian besar anak-anak muda Minangkabau kelahiran awal abad ke-20 menikmati sejuknya air kemadjoean dan menjadi modernis.

Catatan

Satu catatan peneliti asing menyebutkan, hampir di setiap periode awal penerimaan siswa di sekolah-sekolah dasar yang ada di Minangkabau kala itu senantiasa dipenuhi anak-anak dari kalangan biasa (non-penghulu), dan perempuan. Mereka antri mendaftar. Mereka mendaftar di Sekolah-Sekolah Nagari di tempat masing-masing, baik yang telah atau belum mendapat pengakuan dan subsidi dari pemerintah kolonial.

Dan setiap kelas yang ditambah dipastikan tidak dapat menampung jumlah mereka calon siswa yang mendaftar.

Sejak dekade pertama, hampir seluruh darek di Minangkabau memiliki Sekolah Nagarinya masing-masing. Kondisi ini memungkinkan anak-anak Minangkabau bersekolah tanpa ada aturan yang ketat secara kolonial.

Anak-anak kampung yang telah tamat di Sekolah Nagari pun dapat memiliki kesempatan melanjutkan pendidikannya ke Normaalschool atau Sekolah Radja di Bukittinggi, namun sayang tidak semua dari mereka yang dapat diterima kecuali memiliki “pendukung” yang kuat, seperti katabelece dari Engku Laras, kepala penghulu, atau orang-orang Belanda yang tertarik dengan kepintaran anak-anak bumiputra Minangkabau tersebut.

Lanjut

Meskipun demikian, keinginan melanjutkan studi yang lebih tinggi di kalangan anak-anak muda itu sangat kuat, dan mendapatkan salurannya dengan kemunculan sekolah-sekolah dirian para guru tamatan Sekolah Radja, atau kelompok-kelompok Islam modernis, seperti Muhammadiyah, Sumatra Thawalib, Adabiyah, Dinniyah, dan sejenisnya. Keberadaan sekolah-sekolah partikelir kaum kebangsaan Islam itu membentuk satu habitus—bila menggunakan istilah Pierre Bourdieu—keterdidikan orang Minangkabau yang sangat mempengaruhi modal-modal budaya, dan modal simbolik mereka di ranah gerakan kebangsaan Indonesia.

Alhasil ini menjadi modal-modal budaya kala berarena di panggung keindonesiaan seperti ditunjukkan tokoh-tokoh, seperti Tan Malaka, Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Yamin, Hamka, Rahmah, dan banyak lagi yang dapat pembaca lihat di buku.

Buku ini jelas bukanlah sebuah penulisan biografi yang detil, dan menyeluruh dari tokoh-tokoh yang diperbincangkan di atas. Ia sebuah catatan reflektif, sebagai pengingat yang sederhana tentang ketokohan mereka. Kalaupun ada yang dapat ditangkap dari keberadaan mereka adalah makna perjuangan para tokoh tersebut yang lebih “membumi”, di tengah jauhnya generasi Z sampai milinial sekarang dengan sejarah negeri mereka sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *