Umat Islam di Indonesia Abad XX (Bagian III)

Oleh
Yudhi Andoni
(Dosen Sejarah, FIB, Unand)

kato.id/19 Juli 2023

Jejaring Islam di Indonesia masa kolonial
Pada saat bersama, meski kolonialisme telah membelenggu penduduk asli dan pendatang di kepulangan Nusantara. Namun sistem kolonialisme itu sendiri juga membuka ruang bagi terbentuknya jejaring di aras lokal, terutama di daerah-daerah yang menjadi pusat pendidikan Islam; Meunasah di Aceh, Surau di Minangkabau, Pesantren di Jawa, dan sebagainya.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam klasik itu menjadi lokus transmisi penyebaran pemahaman baru keislaman yang berasal dari Haramain, atau Makkah dan Madinah (Azyumardi Azra, 2004). Relasi antara ulama lokal dan Haramain itu tidak dapat lepas dari keberadaan jejaring yang telah terbentuk lama sejak Islam dikenalkan sampai yang terbentuk akibat kolonialisme Belanda.

Jaringan pertama yang terbentuk adalah “jaringan haji”. Perjalanan Haji ke Makkah merupakan praktik ibadah yang telah lama dilakukan Umat Islam di Indonesia. Kedatangan ulama-ulama dari luar Nusantara untuk meyebarkan Islam telah merangsang minat penduduk lokal yang telah kuat pemahaman keislaman mereka untuk pergi menunaikan haji guna melengkapi Rukun Islam kelima. Haji telah membawa mereka bertemu dengan penduduk lokal lain di seantero Nusantara sekaligus kawasan Dunia Islam lainnya. Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan berbagai pengetahuan baru dan dialog keagamaan penting untuk dibawa dan diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan serta murid-murid mereka setelah kembalii berhaji.

Jaringan kedua adalah jaringan tarekat. Tarekat merupakan praktik keagamaan yang mengakar kuat di Indonesia sejak awal penyebarannya. Umat muslim di berbagai lembaga pendidikannya sebagian besar menganut atau mempraktikkan beberapa rupa ritual tarekat. Tarekat yang berkembang di kepulauan Nusantara sebagian besar berasal dari Jazirah Arabia atau kawasan Dunia Islam lainnya.

Diantara tarekat yang berkembang dan besa dalam masyarakat Muslim Indonesia, meliputi Syattariyah, Naqsyabandiyah, Shidiqiyah, Qadiriyah, dan banyak lagi. Tarekat-tarekat itu membentuk satu persaudaran spiritual satu sama lain, sehingga membentuk kesamaan pandangan dan praktik keagamaan yang menjadi fondamen kebangsaan di kemudian hari (Nasuhi, 2020; Noupal, 2016; Tedy, 2017; Zainurofieq, 2021).

Jejaring terpenting ketiga yang menyatukan umat Islam Nusantara adalah jaringan intelektual atau pemikiran. Dua jejaring sebelumnya telah membentuk satu ruang sosial penting pertemuan antar-ulama dan murid-muridnya. Sementara jaringan intelektual merupakan satu network kesadaran diskursif yang menjadi basis bagi gerakan perubahan sosial dalam masyarakat. Melalui jaringan intelektual itu, terutama berasal dari gagasan-gagasan yang dibawa dari pembaru seperti Al Afgani, Abduh, Ridha, dan banyak lagi dari Dunia Islam Internasional, kaum Muslimin di kepulauan Nusantara menjadi bagian dari “warga bangsa” atau “umat Islam”.

Tiga jaringan yang terbentuk masa kolonial di balik permukaan kebijakan kolonial, merambat perlahan menyatukan umat Islam di kepulauan Nusantara. Meski pada saat bersamaan gerakan kebangsaan muncul di permukaan dunia kolonial, namun mereka di tingkat akar rumput, dalam hal jumlah, tidaklah banyak. Perambatan gagasan kebangsaan yang mengikutkan Islamlah yang menjadi tulang punggung nasionalisme di awal abad kedua puluh, karena persatuan dan persamaan sebagai basis entitas gagasan ini telah hidup dalam masyarakat Muslim. Dan itu sangat kuat dibentuk oleh tiga jaringan tadi.

Bibliografi

Ariwibowo, T. (2021). Strategi Perang Semesta: Pertempuran Pangeran Diponegoro Menghadapi Belanda 1825-1830. Syntax Literate ; Jurnal Ilmiah Indonesia, 6(5). https://doi.org/10.36418/syntax-literate.v6i5.2742
Azyumardi Azra, 1955-. (2004). Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII : melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia (Ed. rev. cet. 1). Kencana.
Bahiej, A. (2006). Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia. Sosio-Religia, 5(2).
Malaka, T. (1922). Komunisme dan Pan-Islamisme. Yayasan Massa, 1922.
Masri, H., Suprayitno, S., & Ratna, R. (2018). War Strategy Done by Gayo and Alas People Against Dutch Colonial (1901-1912). Budapest International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal) : Humanities and Social Sciences, 1(2). https://doi.org/10.33258/birci.v1i2.10
Mulya, L.-. (2018). KEBIJAKAN MARITIM DI HINDIA BELANDA: Langkah komersil pemerintah kolonial. MOZAIK: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Dan Humaniora, 7(1). https://doi.org/10.21831/moz.v7i1.5543
Nasbi, I. (2019). JAMALUDDIN AL-AFGHANI (PAN-ISLAMISME DAN IDE LAINNYA). Jurnal Diskursus Islam, 7(1), 70–79. https://doi.org/10.24252/JDI.V7I1.9805
Nasuhi, H. (2020). Tasawuf dan Gerakan Tarekat di Indonesia Abad ke-19. Refleksi, 2(1). https://doi.org/10.15408/ref.v2i1.14387
Noupal, M. (2016). Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19 dari Ortodoksi ke Politisasi. Intizar, 22(2). https://doi.org/10.19109/intizar.v22i2.943
Prasadana, M. A. F., & Gunawan, H. (2019). KERUNTUHAN BIROKRASI TRADISIONAL DI KASUNANAN SURAKARTA. Handep: Jurnal Sejarah Dan Budaya, 2(2). https://doi.org/10.33652/handep.v2i2.36
Tedy, A. (2017). TAREKAT MU’TABAROH DI INDONESIA (Studi Tarekat Shiddiqiyyah dan Ajarannya). El-Afkar, 6.
Utami, I. W. P. (2015). Monetisasi dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Abad XIX. Sejarah Dan Budaya, 09(01).
Van den Avenne, C. (2021). Colonialisme. Langage et Société, Hors série(HS1). https://doi.org/10.3917/ls.hs01.0048
Zainurofieq, Z. (2021). Gerakan Politik Kaum Tarekat dalam Sejarah Indonesia. Jurnal Iman Dan Spiritualitas, 1(4). https://doi.org/10.15575/jis.v1i4.15027

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *