Tuanku Nan Ampek di Agam

Oleh: Yudhi Andoni (Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang).

kato.id/ 8 Juli 2023. Praktik islamisasi Orang Minangkabau melalui surau menjadi sesuatu yang khas dari ranah ini. Praktik itu menunjukan bahwa pendidikan merupakan media penyampai paling efektif nilai-nilai keislaman dalam masyarakat. Selain itu, fakta yang mengejutkan lain dari islamisasi melalui surau adalah betapa orang Minangkabau sangat menjunjung tinggi hal yang berkaitan ilmu pengetahuan. Kita sama-sama tahu bahwa surau dulunya adalah lembaga pendidikan, atau arena penyebaran ilmu pengetahuan di masa Hindu-Budha. Konversi besar-besaran orang Minangkabau di darek ke dalam Islam melalui surau, karena itu menguatkan fakta mereka orang-orang yang menghargai hal yang baru, sekaligus terbuka atau open minded bila hal itu berasal dari satu lembaga pendidikan.

Surau kala itu dianggap institusi yang memiliki otoritas dalam hal pengetahuan atau kebenaran. Hal ini sangat berbeda bila kita arahkan padangan ke tempat lain, dimana justru hanya keraton atau raja yang memiliki otoritas tunggal. Semua yang berasal dari keraton atau sabda raja dianggap sebuah wahyu keilahian, atau firman dewa-dewa untuk rakyat atau wong cilik. Maka tidak heran pada daerah dimana ada raja, Islam lebih dulu mendatangi para penguasanya. Penguasa ini yang diislamisasi lebih dulu, baru kemudian rakyatnya menurut.

Islamisasi melalui surau bisa dikatakan bersifat demokratis. Ia dapat menjangkau kalangan atas sampai bawah. Perempuan dan kanak-kanak. Sejak kecil para penghulu adat hidup di surau, bahkan kala tuanya mereka akan kembali ke surau. Ketika Islam dikenalkan ke orang Minangkabau melalui suraunya, maka ia tidak mengenal kasta sosial. Semua orang dapat belajar agama Islam di surau tanpa melihat statusnya di nagari. Karena di surau orang diperlakukan sama. Oleh karena itu islamisasi surau merupakan strategi paling jenius yang dipilih para pembaharu pemikiran seperti Syekh Burhanuddin di Ulakan pada abad ke-18 ini. Dengan cepat setelah itu konversi orang Minang ke dalam Islam tak terbendung lagi.

V

Apakah Syekh Burhanudin itu benar ada orangnya? Ataukah sebatas mitos? Siapa sebenarnya Syekh Burhanuddin? Bagaimana sejarah sebenarnya dari Beliau sebagai pengembang agama Islam di pedalaman Minangkabau?

Dunsanak pencinta sejarah Minang. Akan halnya keberadaan Syekh Burhanuddin, beliau memanglah tokoh sejarah. Beliau bukan mitos atau legenda yang tidak dapat dibuktikan keasliannya. Beliau ada catatan sejarah dan tinggalan riwayat hidupnya. Jadi bukan dibuat-buat oleh pengikutnya seperti halnya legenda Cindua Mato, Dang Tuanku, atau Bundo Kanduang. Ketiga orang ini dalam Sejarah Minangkabau sering disebut, bahkan konon ada pula kuburannya. Tapi apakah mereka tokoh yang nyata seperti Syekh Burhanuddin? Maka saya sebagai sejarawan menjawabnya dengan mengatakan; kalau ketiga orang itu tidak senyata Syekh Burhanuddin.

Tapi kapan Syekh Burhanuddin lahir? Bila Beliau berdakwah? Bagaimanakah cara Syekh Burhanuddin mengislamisasi orang Minangkabau di pedalaman? Mari kita bahas satu persatu, dunsanak.

Syekh Burhanuddin atau Tuanku Ulakan lahir diperkirakan di pertengahan abad ke-17 di Nagari Pariangan. Orangtua beliau kala itu tidak diketahui apakah sudah memeluk Islam atau belum. Sewaktu kecil beliau dipanggil Pono, tapi menurut satu sumber nama kecilnya adalah Kanun. Pada periode ini Pariangan besar kemungkinan belum menerima Islam. Lokasi Pariangan yang jauh di pedalaman Minangkabau tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh pendakwah Islam masa itu. Ayah Pono bernama Pampak Sati Karimun Merah. Ia konon terkenal sebagai ahli pengobatan tradisional. Sementara ibu Pono bernama Puti Cukuik Bilang Pandai. Seiring kemajuan pesisir Barat Minangkabau dengan perdagangan internasionalnya, Pampak Karimun Merah tertarik membawa anak istrinya ke Pariaman di akhir abad ke-17. Di Pariaman, Pono mengenal Islam melalui berbagai orang alim di sana dan tertarik melanjutkan pencarian keislamannya keluar dari area Minangkabau, menuju Makkah dan singgah di Aceh.

III

Kala singgah ke Aceh, Pono belajar dengan Syekh Abdurrauf al Singkili. Al Singkili adalah ulama terkenal masa itu. Pengaruhnya tak hanya di Aceh, tapi juga di kawasan yang dikuasai kerajaan Aceh, termasuk di pesisir barat Minangkabau. Luasnya pengetahuan Al Singkili tentang Islam telah menarik Pono datang belajar pada Sang Syekh. Setelah beberapa tahun belajar pada Al Singkili, Pono mengganti namanya menjadi Burhanuddin. Arti Burhanuddin sendiri adalah bukti nyata akan agama Islam! Dengan mengganti namanya, Pono tampak ingin menegaskan kalau dirinya telah kuat dengan pilihannya menjadi seorang Muslim. Nama baru ini juga memberinya inspirasi dan kekuatan untuk menyebarkan Islam pada orang Minangkabau pada pertengahan abad ke-18. Atas nasehat dan dukungan Al Singkili, Burhanuddin pulang merantau dan menetap di Ulakan. Ulakan kala itu tempat yang cocok berdakwah karena ramainya orang Minangkabau yang datang berdagang, atau sekedar menetap sementara waktu untuk kemudian kembali ke pedalaman Minangkabau.

Setibanya di Ulakan, Syekh Burhanuddin memulai dakwahnya dengan persuasive. Ia tidak terburu-buru untuk mengajak orang Minangkabau langsung berislam dengan ketat. Sebagai anak dari keluarga yang kuat dengan adat Minangkabau dulunya, Buhanuddin paham darimana mendekati umatnya. Ia toleran dengan beberapa praktik jahiliyah masa itu asalkan tidak melakukan perbuatan dosa besar dan tercela dalam agama. Setelah beberapa lama mengajak orang Minangkabau yang di Ulakan, Burhanuddin kemudian mengubah fungsi surau yang kala itu masih menjadi tempat pemujaan atau sekedar belajar agama Hindu-Budha. Selain pasar, Surau adalah tempat yang banyak dikunjungi orang Minangkabau untuk sekedar berdoa, meminta berkah, atau menetap sebelum melanjutkan perjalanan.

Setelah memperhatikan besarnya ketertarikan orang Minangkabau dengan surau, Syekh Burhanuddin pun mulai mendirikan suraunya sendiri. Ia pun mulai berdakwah sebagaimana gurunya Al Singkili dengan menggunakan media edukasi.

IV

Syekh Burhanuddin pun menyungkap surau sebagai lembaga pendidikan seperti halnya Meunasah gurunya di Aceh. Lambat laun, cara penyampaian Syekh Burhanuddin yang santun, toleran, dan ketauladanannya yang salih, menarik perhatian ribuan orang Minangkabau datang ke suraunya di Ulakan. Mereka datang berguru dengan serius tentang Islam. Setelah sekian lama mengembangkan surau di Ulakan, Syekh Burhanuddin mendapatkan murid-murid militan menyebarkan Islam di kampungnya masing-masing. Menurut Azra, murid-murid militan beliau itu dikenal dengan nama “Empat Tuanku”. Empat Tuanku yang diangkat sang Syekh sebagai kalifahnya untuk menyebarkan Islam di Agam. Empat Tuanku yang diangkat inilah konon dasar nama daerah Ampek Angkek di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

One thought on “Tuanku Nan Ampek di Agam

  1. Terima kasih banyak materinya pak Yudhi. Saya sudah baca semuanya dan sangat suka pak. Izinkan saya bertanya mengenai: 1. Kepindahan keluarga Pono (Burhanuddin) dari Pariangan ke Pariaman pada akhirnya terjadi, nah disebutkan juga kalau akhirnya dia menerima pelajaran Islam di Pariaman itu, pertanyaannya pak, kepada siapa Burhanuddin berguru? Sebab, yang saya ketahui Burhanuddin adalah syekh gadang urang di Pariaman, jadi cukuk membingungkan juga pak. 2. Di dalam narasi juga diselipkan tentang kebesaran atau katakanlah pengaruh syekh Al Singkili dari Aceh, bahkan pengaruhnya sampai ke pesisir barat Minangkabau. Mungkinkah ini merujuk pada terjadinya proses islamisasi di bagian pesisir barat Minangkabau pak, dan juga kalau memang seperti itu, bentukan islamisasi yang bagaimana terjadi? Apakah secara paksa atau sebagainya. Terima kasih pak, semoga berkenan menjawab. Soalnya saya juga sedang mengumpulkan perca-perca sejarah pesisir bagian barat Minangkabau, setidaknya dari zaman VOC masuk ke wilayah itu 🙏

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *