Tegangan Struktur Karya Sastra dan Struktur Sosial

Struktur karya sastra dan struktur sosial memiliki hubungan tarik-menarik. Saling terkait, salah satunya pada salah satu aspek lahirnya sebuah karya sastra, yakni pengarang.

Riyani Vadilla
Penulis

Apa saja tegangan struktur karya sastra dan struktur sosial? Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hal ini, tentu ada baiknya kita membahas, apa itu struktur karya, dan struktur sosial terlebih dahulu.

Jabrohim dalam Metodologi Penelitian Sastra menjelaskan struktur karya sastra pada dasarnya merupakan pendukung serta pelaksana karya sastra. Makna karya sastra ada dua, yaitu makna niatan (amanat), dan makna muatan (tema).

Makna niatan adalah makna yang dikehendaki pengarang, sedangkan makna muatan adalah makna yang ada dalam struktur karya itu sendiri. (Jabrohim : 2003:158)

Struktur sosial  berarti suatu bangunan sosial berbasis pelbagai unsur pembentuk masyarakat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain secara fungsional. Kaitan fungsional ini terjadi; apabila ada perubahan pada salah satu unsur, maka unsur lain akan mengalami perubahan.

Unsur pembentuk

Unsur pembentuk masyarakat adalah manusia atau individu yang menjadi anggota masyarakat, tempat tinggal atau lingkungan kawasan tempat masyarakat berada, serta kebudayaan, nilai dan norma yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut. Sementara struktur sosial bermakna tata cara atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Lantas apa korelasi atau hubungan antara struktur karya sastra dan struktur sosial?

Struktur karya sastra dan struktur sosial memiliki hubungan tarik-menarik. Saling terkait, salah satunya pada salah satu aspek lahirnya sebuah karya sastra, yakni pengarang.

Pengarang hakikatnya seorang individu. “Setiap individu tidak hanya dibentuk oleh lingkungannya, melainkan juga membentuk lingkungannya sendiri” (Griffin : 16). Kutipan tersebut menjelaslah bagi kita bahwa setiap individu tanpa terkecuali pengarang ada dalam lingkungan dan juga membentuk lingkungan. Karena hal demikian karya sastra tidak dapat terlepas dari keseharian pengarang.

Sementara pengarang juga mampu membentuk lingkungannya sendiri. Karya sastra, pengarang, dan struktur sosial yang ada di balik karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berpisah. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain.

Di lain sisi, pengarang merupakan anggota masyarakat. Pengarang juga menjalankan perannya sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, seorang pengarang berinteraksi dengan orang lain. Nilai-nilai sosial dalam masyarakat, sadar atau tidak, akan membentuk karakter si pengarang.

Misalnya caranya bertutur kata kepada orang yang lebih tua. Bagaimana menangani permasalahan atau konflik. Apa reaksinya terhadap suatu permasalahan serius menyangkut kepentingan dirinya, dan warga masyarakat lainnya. Misal dia ketika berhadapan dengan teror yang berkembang di negerinya.  Respon si pengarang ini tentunya akan tercermin pada bahasanya dan cara dia bernarasi dalam karya.

Klasifikasi karya

Namun klasifikasi karya sastra mana saja mengalami keterkaitan dengan struktur sosial. Gilbert (dalam Endraswara :2003 : 77) menulis, “all literature, however fantastical or mystical its content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work” (semua karya sastra, betapun fantasi atau mistis isinya, dianimasikan oleh kepedulian sosial yang mendalam, dan ini benar bahkan untuk karya nihilistik yang paling mencolok).

Karya-karya bertema fantasi, seperti Harry Potter, The Lord of The Ring, The Hobbit, drama absurd Waiting for Godot, dan lain-lain. Meski berasal dari genre yang berbeda–beda, semua sama-sama lahir dari coretan tangan pengarang yang notabenenya seorang makhluk sosial. Si Pengarang hidup dalam tengah masyarakatnya, menyerap nilai-nilai di dalamnya, dan melahirkan kembali nilai-nilai tersebut ke dalam karya sastra.

Kehadiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat tidak lahir dalam kekosongan sosial. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra bersifat reflektif. Ia memiliki asumsi dasar bahwa kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan memicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses mampu merefleksikan zamannya.

Sastra dan proses kreatif tidak berasal, hadir, dan ada dalam ruang kosong atau hampa. Ada interaksi sosial dalamnya. Kerja saling ambil dan beri manfaat antara penulis dan lingkungannya. Kompetisi yang mungkin  tanpa sadar. Dukungan sosial budaya yang turut serta membentuk, dan mempengaruhi capaian estetika para penulis.

Kemampuan karya sastra merefleksikan zaman pun tampak dalam berbagai macam karya sastra. Menurut Lowenthal (Laurenson dan Swingewood, 1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial (Endraswara: 2003:88).

ARTIKEL LAIN

Mistik dan Kekuasaan dalam Novel Sabda Palon
Kritik Film: Antara Prestasi dan Dilema Atas Karya
Jadi Guru Jaman Now

Maka dapat dipahami hal-hal berada pada struktur sosial, seperti imajinasi, perasaan, intuisi pengarang terhadap lingkungan sekitarnya, dan sebagainya akan mewarnai struktur karya. Sementara struktur karya dapat juga mempengaruhi struktur sosial. Pertanyaannya; bagaimana hal itu bisa dilakukan?

Kritik

Sebuah karya dapat mengkritisi apa yang sebenarnya sudah atau sedang terjadi di masyarakat. Perumpamaan-perumpamaan, atau tokoh-tokoh ciptaan seolah membuat pembaca sadar bahwa sesuatu sedang terjadi tanpa mereka sadari.

Sebagai contohnya saja, drama absurd Waiting for Godot, terbit pada 1953 berjudul asli En attendant Godot, karya Samuel Beckett di Roussillon pada saat French Resistance berkembang. Karya ini memiliki muatan kritik terhadap keadaan sosial masyarakat Eropa pada pertengahan abad XX.

Bentuk-bentuk kritik dalam karya ini dapat kita pahami melalui masing-masing karakter, properti seperti tali Pozzo mengendalikan Lucky yang menjadi bawahannya, labu. Kemudian latar serta ketiadaan plot pun memiliki makna, yaitu keadaan keberadaan stagnan saja saat itu, dan apa yang mereka tunggu itu, yaitu karakter Godot bahkan tidak muncul (Vadilla: 2012)

Karakteristik dari drama absurd ini berupa semacam tragik-komedi yang seringkali mirip dengan vaudeville yang bercampur dengan image mengerikan. Karakter terperangkap dalam situasi keputusasaan.

Teater absurd sendiri bisa dikatakan berbeda dengan drama-drama lainnya karena plotnya bersifat klise. Semua karakteristik ini hadir terbentuk oleh kekacauan politik, terobosan ilmiah, dan pergolakan sosial yang terjadi di dunia pada masa penulis drama ini muncul. Dalam bukunya berjudul Drama Absurd, Martin Esslin menulis.

… teater absurd menyerang kepastian yang nyaman dari ortodoksi religius atau politik.”

Pada akhirnya manusia berada dalam dunia yang tidak berarti. Penumpahan solusi yang mudah berupa ilusi yang menghibur mungkin menyakitkan, namun meninggalkan kebebasan. Itulah sebabnya teater absurd tidak memancing air mata keputusasaan tapi tawa pembebasan.

Waiting for Godot

Dalam drama Waiting for Godot, kita menjumpai beberapa karakter penting, seperti Vladimir, Estragon, Pozzo, Lucky, A boy dan tokoh Godot yang disebut-sebut akan muncul dalam drama tapi tidak pernah muncul. Vladimir dan Estragon melakukan percakapan yang repetitif yang mungkin membuat penonton bertanya-tanya; mengapa mereka sangat ingin menunggu Godot. Padahal mereka sebenarnya dalam hati tahu Godot pasti tidak dating. Namun mereka tetap berupaya bertahan dalam keputusasaan yang kental.

Selama mereka menunggu mereka bertemu seseorang tuan tanah bernama Pozzo. Dan budaknya yang bernama Lucky. Lucky menghibur mereka dengan tarian dan pikiran-pikiran kemudian meninggalkan mereka. Ketika Pozzo dan Lucky meninggalkan mereka berdua. seorang anak muncul dan membawa pesan dari Godot bahwa dia tidak akan datang malam ini, tapi akan datang besok. Vladimir dan Estragon memutuskan untuk pergi. Tapi mereka tidak pernah pergi.

Malam selanjutnya, Vladimir dan Estragon masih dekat pohon sama menunggu Godot. Lucky dan Pozzo datang kembali. Pozzo dalam keadaan buta, dan Luki tuli. Kemudian datang kembali anak lelaki yang sama seperti yang kemarin, menyampaikan pesan lagi; bahwa Godot tidak akan datang malam itu.

Akhir cerita, mereka sama-sama memutuskan pergi, tapi tidak pernah pergi. Begitulah seterusnya tetap menunggu Godot yang di dalam hatinya mereka, tidak yakin kapan datang tapi tetap mau menunggu.

Jadi masa itu dalam karya ini, pertengahan abad XX, bertema keputusasaan. Bahwa manusia tidak dapat melawan apa yang terjadi di sekelilingnya. Keputusasaan tersebut mereka sikapi melalui tragicomedy. Hal inilah yang sebenarnya membuat penonton sadar tentang apa yang telah menimpa mereka pada saat itu. Contoh yang lain. Kritikan terhadap eksploitasi pertambangan besar-besaran yang tidak memperhatikan alur pembuangan limbah yang tepat pada novel Tanah Tabu, karya Anindita S. Thayf.

Tarik-menarik

Setelah memahami karya-karya sastra di atas. Maka tidak salah kita dapat menyimpulkan, ada hubungan tarik-menarik; antara struktur karya dan struktur sosial. Mereka merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya, jika ada pengarang yang berdalih bahwa karya yang dibuatnya murni hasil ciptaannya sendiri, tanpa pengaruh hal-hal lain. Tentulah ia bisa dipastikan sedang berdusta, karena seperti yang kita ketahui seorang pengarang bisa menulis karena telah mengalami proses kreatif.

Struktur sosialnya tentunya berpengaruh pada proses penciptaan dsb Ketika nilai-nilai yang terakumulasi dalam dirinya tersebut tertuang dalam karya sastra yang dia buat melalui tokoh-tokoh di dalam novel, cerpen, cerita rakyat atau puisi yang dia buat, pengarang melakukan dua hal sekaligus yaitu menuangkan nilai-nilai yang telah membentuk dirinya dan menuangkan kembali nilai-nilai tersebut menjadi suatu lingkungan yang baru yang dapat dinikmati oleh orang dari berbagai kalangan dalam bentuk karya sastra.

Ada semacam gerakan tarik menarik antara struktur di dalam karya dengan struktur sosial yang berkembang di masyarakat. Melalui karya sastra, pengarang mampu membentuk suatu “lingkungan” baru yang  memudahkannya menyisipkan nilai-nilai sosial yang ada pada karyanya kepada para pembaca. Ia juga menjadikan karyanya itu sebagai suatu cermin atau refleksi jaman.

Selain itu para pembaca pun dapat memahami pengarang sebagai produk atau output lingkungan tempat dia besar. Margaret Atwood misalnya. ia seorang penulis kelahiran Ottawa, Ontario, Kanada. Dia membuat karya imaginatif yang mengangkat negaranya, Quebec Utara.

Quebec Utara sengaja ia pilih sebagao latar dari novelnya karena  daerah ini nilai nasionalisme Kanada berkembang. Nasionalisme Kanada berkembang mengikuti Perang Dunia I dan II. Tak semata itu, pada karya ini juga terbaca perjuangan mendapatkan kekuatan identitas provinsi, terutama di Quebec, dan pengaruh budaya Amerika dan integrasi ekonomi.

Daftar Pustaka

Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Esslin, Martin. The Theatre of the Absurd.

Griffin, David Gray. Visi-Visi Postmodern. Yogyakarta : Kanisius

Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita Graha Widya

KW, Yusrizal. 2018. RKB Membuka Ruang Baru untuk Penulis Sumbar. https://orangkayabuku.com/2018/02/24/berita/rkb-membuka-ruang-baru-untuk-penulis-sumbar/

Vadilla, Riyani. 2012. Negation toward Socio-Economic Condition of European Society in the Middle of 20th Century as Conveyed in Samuel Beckett’s Waiting for Godot. Fakultas Ilmu Budaya. Padang : Universitas Andalas.

http://hariannetral.com/2015/06/pengertian-struktur-sosial-dan-penjelasannya.html.

http://www.thecanadianencyclopedia.ca/en/article/nationalism.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *