Syekh Burhanuddin

Oleh Yudhi Andoni (Dosen Sejarah Universitas Andalas, Padang)

Kato.id/ 10 Juli 2023. Dunsanak pacinto sejarah Minangkabau. Setelah mendapatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk melalui pesan pendek, dan kolom komentar di situs di kato.id. Mereka meminta agar didudukan benar, siapa Syekh Burhanuddin ini lebih tegas dalam sejarah. Maka izinkan saya di bagian kedua pembahasan kita soal Sejarah Minangkabau ini, membincangkan Sang Syekh Ulakan tersebut secara khusus, yang kedudukannya hampir sama dengan Wali Songo di Jawa. Wali Songo sebagaimana kita ketahui adalah pembawa Islam ke pedalaman masyarakat Jawa. Namun dalam diri Syekh Burhanuddin dari Ulakan ini. Ia membawa sifat Sunan Giri yang tegas pada penjalanan syariat Islam sesuai Quran dan Sunnah Nabi, tapi sekaligus Sunan Kalijaga yang adaptif dengan budaya lokal.

Setidaknya ada beberapa penulis yang mencoba menelusuri sejarah Syekh Burhanuddin. Mereka itu misalnya Ridwan Arif dalam artikel jurnalnya berjudul, “Sejarah Islamisasi Minangkabau: Studi Terhadap Peran Sentral Syekh Burhanuddin Ulakan” (2020).

Bustaman, dkk dalam Laporan Penelitian berjudul, “Syekh Burhanuddin dan Peranannya Dalam Penyebaran Islam Di Minangkabau” (2000).

Selain itu terdapat karya Duski Samad berjudul, “Syekh Burhanuddin Ulakan dan Islamisasi di Minangkabau: Syarak Mendaki Adat Menurun” (2003).

Tamar Djaja, “Sjech Burhanuddin (1646-1692)” (1965). Dan Imam Maulana Abdul Manaf Amin, “Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau”, Manuskrip (1936) dan telah ditranslitersikan ke dalam huruf latin berbahasa Indonesia oleh Adriyetti Amir dengan judul “Sejarah Ringkas Aulia Allah Al Shalihin Syeh Burhanuddin Ulakan” Pengantar dan Transliterasi dalam Jurnal Puitika Edisi Agustus 2001.

Karya-karya di atas relatif berbeda dalam menetapkan tahun lahir dan kematian Syekh Burhanuddin. Para penulis itu juga tampak berselisih pendapat soal tempat kelahiran Syekh Burhanuddin. Dan yang paling menarik adalah adanya perbedaan tentang Syekh Burhanuddin yang mana yang menjadi tujuan ziarah di Ulakan, Pariaman kini.

Perbedaan

Ada perbedaan kapan Syekh Burhanuddin lahir. Setidaknya ada dua pendapat soal ini. Pendapat pertama, Syekh Burhanuddin lahir pada sekisaran abad ke-12 Masehi. Pandangan kedua, beliau kelahiran pertengahan abad ke-17 Masehi. Mereka yang menetapkan tahun kelahiran pada abad ke-12 ini percaya bila Sang Syekh-lah yang mengenalkan Islam ke orang Minangkabau pada awalnya, sehingga pada periode inilah orang Minangkabau menjadi Muslim. Selain itu, Syekh Burhanuddin yang lahir pada masa ini dikaitkan dengan keberadaan Tuanku Madina atau Abdullah Arif yang konon menjadi guru Syekh Burhanuddin sebelum ke Aceh melanjutkan pelajarannya dengan Syekh Abdurrauf Al-Singkili.

Sementara pendapat yang umum menyebutkan kalau Syekh Burhanuddin dari Ulakan lahir sekisaran pertengahan abad ke-17 dan meninggal sekitar akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18 Masehi. Kelahiran dan kematian Syekh Burhanuddin terutama disejajarkan dengan kiprah gurunya Abdurrauf Al-Singkili (1615-1693). Kebanyakan para sejarawan seperti Taufik Abdullah dalam “Adat and Islam” (1966), dan Azyumardi Azra mengambil periode kehidupan Syekh Burhanuddin dari Ulakan ini dari 1646-1704 Masehi.

Pendapat dua sejarawan ini dapat diterima sehubungan dengan keberadaan murid-muridnya yang terkenal, seperti Tuanku Mansiang Nan Tuo, dan berlanjut ke Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, Ampek Angkek yang menjadi pembaru pemikiran Islam di pedalaman Minangkabau pada pertengahan abad ke-18 sampai awal abad ke-19, terutama sebelum periode Aliansi Padri (1803-1837).

Perbedaan pandangan dalam sejarah Syekh Burhanuddin dalam sejarah terkait nagari asal, dan siapa orangtuanya. Secara umum banyak orang percaya kalau Syekh Burhanuddin berasal dari Sintuk, Pariaman. Sementara peneliti lain menyebut dia berasal dari Pariangan di kaki Gunung Merapi. Ia bersuku Guci. Ibunya sebagian menyebut bernama Nili, yang lain mengatakan namanya Puti Cukuik Bilang Pandai.

Kembali

Setelah beberapa lama belajar dengan Abdurrauf al-Singkili, Burhanuddin kemudian kembali ke negeri asalnya. Di Ulakan ia mengajarkan Islam sembari mencari metode yang tepat dalam penyebarannya. Setidaknya ada dua metode Syekh Burhanuddin dalam penyebaran Islam kepada orang Minangkabau.

Pertama melalui sarana public yang telah dikenal kala itu. Sarana publik yang dikenal waktu itu mampu mengumpulkan orang dan bersifat sakral adalah Surau. Maka dari itu, Syekh Burhanuddin pun mengadobsi bentuk fisik surau dan mengubah fungsinya sebagai sebuah tempat pengajaran dan pendidikan Islam.

Metode kedua dari Syekh Burhanuddin adalah toleran terhadap praktik-praktik adat tertentu. Syekh Burhanuddin barangkali paham bila ia to the point mengajukan Islam sebagai norma, maka hampir seluruh tatanan adat Minangkabau yang berlaku akan bertabrakan dengan Al Quran dan Sunnah Nabi. Maka ia pun mencari jalan lain agar ajaran Islam yang keras terhadap tradisi tidak tidak menonjol dalam kehidupan masyarakat. Alhasil Suraunya di Ulakan banyak orang-orang yang datang dari berbagai tempat di pedalaman Minangkabau.

Pengaruhnya makin meluas seiring kepulangan murid-muridnya ke nagari masing-masing, dan mengambil dua metode pengajaran Sang Syekh dari Ulakan ini. Para murid Syekh Burhanuddin terkenal adalah Tuanku Mansiang Nan Tuo yang kala selesai belajar mendirikan suraunya sendiri di Paninjauan.

Surau Tuanku Mansiang Nan Tuo ramai oleh kedatangan orang yang ingin belajar agama Islam dari berbagai kawasan pedalaman Minangkabau. Ia alim dalam ilmu mantiq, fikih, dan tafsir.

Tuanku Nan Tuo

Salah seorang yang terkenal dari murid Tuanku Mansiang Nan Tuo adalah Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo Ampek Angkek. Tuanku Nan Tuo merupakan tokoh paling disegani pada akhir abad ke-18 sebagai pembaru pemikiran Islam  Minangkabau kala itu. Pengaruhnya yang besar membuat Harimau nan Salapan, yakni sebuah nama dari Aliansi Kaum Padri pada awal abad ke-19 mendatangi Tuanku Nan Tuo untuk mendukung gerakan mereka.

Tapi Tuanku Nan Tuo tidak mau ikut dalam gerakan Tuanku Nan Renceh yang menjadi kepala dari Harimau nan Salapan, dan tetap pada pendiriannya bahwa Islam itu adalah agama damai, dan mestinya ulama menyebarkannya dengan cara-cara yang elok.

Gagal mendapatkan dukungan dari Tuanku Nan Tuo, Aliansi Padri yang bernama Harimau nan Salapan menjadi marah. Mereka pun konon membakar surau Tuanku Nan Tuo, dan menjadi penanda mulainya Gerakan pemurninan praktik-praktik keislaman baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *