Sunting Melayu: Koran Awal Kaum Perempuan Minangkabau

Senang benar hati para padusi terpelajar Minang menyambut terbitnya Soenting Melajoe (baca: Sunting Melayu). Surat kabar ini seakan jalan keluar mereka menyampaikan unek-unek yang selama ini terpendam di Rumah Gadangnya. Bila mereka menyampaikan perasaan dan gagasan, senantiasa ninik mamaknya menganggap dia melanggar pantangan adat.

Tak elok padusi terlalu banyak bicara, apalagi menuntut, nasehat mandehnya. Ketika surat kabar bernahkoda perempuan hebat seperti Siti Roehana dan Zoebaedah Ratna Djoewita ini terbit, segera perempuan terpelajar berhamburan menulis artikel mereka. Soenting Melajoe bagi mereka arena bagalanggang di mato rang rami. Media ini bak kekasih hati pulang rantau. Semua dicurahkannya.

Duo nahkoda

Soenting Melajoe terbit pada awal dekade kedua abad ke-20. Media ini dikelola dengan cara unik. Duo nahkodanya berada pada tempat berbeda. Roehana di Kotogedang, Bukitttinggi. Sementara Ratna Djoewita berada di Kota Padang. Namun kombinasi keduanya saling melengkapi dalam menjalankan roda Soenting Melajoe.

Duo Soenting Melajoe ini barangkali tak menyangka media mereka akan mendapat sambutan luar biasa dari kaumnya. Keduanya mungkin berpikir kalau surat kabar ini hanya akan dilirik semata para perempuan yang kala itu sulit bergerak menyuarakan pemikiran mereka secara literatif. Bagaimanapun belum banyak orang bisa menerima kehadiran padusi yang terpelajar. Apalagi mitos padusi terpelajar itu banyak menuntut dan tak beretika begitu kuat.

Namun Soenting Melajoe seakan menjadi gelanggang mereka menulis. Para penulisnya tampak ingin berpacu dengan para terpelajar pria yang menulis di berbagai media kala itu. Tulisan-tulisan mereka membuktikan keterpelajaran perempuan yang bahkan jauh melampauhi para penulis lelaki. Tulisan-tulisan para perempuan terpelajar di Soenting Melajoe memiliki kekuatan tersendiri. Jujur. Segar. Inspiratif. Indah dengan kata-katanya.

Lama

Para penulis Soenting Melajoe tersebar hampir di seluruh kawasan Minangkabau. Mereka antaranya berasal dari Sawahlunto, Saniangbaka, Sulitair, Payakumbuh, dan sebagainya. Penulis padusi terpelajar di Soenting Melajoe itu turut andil memperpanjang usia surat kabar ini. Usia Soenting Melajoe relatif lama berbanding media sezaman dengan penulis elit baru Minangkabau kalangan lelaki. Soenting Melajoe berhenti terbit awal tahun 1921, Sewindu setelah mengembara menyampaikan goresan pena pengarangya.

Pada masa ini, surat kabar tumbuh dan mati bak cendawan dalam satu musim. Ada banyak terbit. Tapi tak sedikit mati pucuk. Ada dua alasan utama kematian surat kabar masa ini. Pertama, ketiadaan penulis atau tulisan masuk ke ruang redaksi. Tanpa tulisan dari luar redaksi, maka akan sulit memenuhi halaman surat kabar. Penerbitan sebuah surat kabar tak bisa mengandalkan tulisan redakturnya semata. Mesti juga ditopang dari penulis luar.

Kedua, ketiadaan pembiayaan yang berasal dari uang langganan dan iklan. Rerata para pelanggan Soenting Melajoe rutin mengirim uang pelamboek kepada redaksi. Selain itu, dua halaman surat kabar ini berisi iklan-iklan menarik. Iklan-iklan tersebut mempromosikan berbagai bentuk usaha yang tengah “viral” pada masa itu.

Maka dari itu, kedua hal tersebut sangat mendukung rutinnya penerbitan surat kabar Soenting Melajoe ini. Pada Soenting Melajoe selama lebih kurang delapan tahun, dua hal itu relatif berhasil para redakturnya hadapi. Para pelanggan Soenting Melajoe pun pembaca militan yang menunggu penerbitannya dengan rasa harap serta senang kala menerima dari Pak Pos edisi baru surat kabar ini.

Isi

“Pada hari Ahad 9 Juni 1912 djam poekoel 3 tengah hari waktoe saja sedang doedoek2 2 atau 3 kawan sedjawat saja ditempat kediaman saja di Kota nan ampat (Balai Tangah) dekat roemah sekolah Tiong Hoa di Pajakoemboeh tiba-tiba datanglah Postlooper membawak soerat chabar Oetoesan Melajoe jang beralamat kepada saja, dengan sebantar itoe djoega saja ambil laloe saja boeka’ kalihatan di dalamnja ada satoe lampiran, saja lihat betoel jang saja sangkah lampiran kiranja satoe soerat chabar bernama Soenting Melajoe jang oentoe’ bangsakoe perempoean, pada koetika itoe tarbitlah kabesaran hatikoe dan terboekalah pikiran saja jang tertoetoep selama ini.

Lambat laoen goelita terang, awan di langit terang banderang, naradja alam keloear sarang, zaman paerempoean pandai mengarang. Tiang kemadjoean kata sepakat, barang jang berat boelih diangkat, oempamanja ranting soedah di ikat, nistjaja boelih di jadikan tongkat” (Siti Alwijah, Koto Nan Ampek, Payakumbuhg, Soenting Melajoe, No 3, Juli 1912).

“Dihalaman Soenting emas tempawan, sekalian emak, oeni, dan kawan, ialah kita bangsa perempoean, dapat menambah ‘ilmoe pengetahoean. Soenting Melajoe laksana taman, dalamnja banjak boeah jang njaman, koentoem dan boenga jang roman, tempat bermain sidang boediman. Kita nan djangan maloe maloean, hendaklah ingat adoehai kawan, abad ini zaman kemadjoean, baik laki laki baik perempoean” (Sitti Noer Ana, Sawahloento, Soenting Melajoe, No 2, Juli 1912).

“Pelbagai benih boeah pikiran, pertjatoeran politiek jang bertaboeran, perempoean laki2 jang berhamboeran, peri kemadjoean dan kemoendoeran. Teloek dan rantau Soenting lajari, temboes ke bali’ goenoeng, tepoe’ bersora’ sambil menari, tontonan pahlawan dan bidadari. Akan mendjadi tiroe teladan, anak padoesi na’ djan njo edan, adjak kesekolah madjoe kemedan, adjarlah hormat merendahkan badan” (Siti Roehana, Medan Poetri, No 4, Juli 1912).

Kemunduran

Meski Soenting Melajoe relatif berhasil menjadi media sekaligus tonggak kemunculan peran intelek perempuan Minangkabau masa kolonial. Namun usaha pembangunannya tetap dalam bayang-bayang sang penguasa utama surat kabar ini, M gelar Datuk Sutan Maharaja. Hal ini terbukti pada akhir-akhir masa kejayaan Soenting Melajoe. Tampak Sang Datuk mulai menguasai gelanggang halaman Soenting Melajoe.

Tulisan Sang Datuk mulai mengambil porsi utama dalam halaman Soenting Melajoe. Hal yang tak  kita jumpai pada awal kemunculan surat kabar ini. Hal ini tentu tak bisa lepas dari luasnya respon dan pengaruh Soenting Melajoe dalam masyarakat Minangkabau kala itu. Kuatnya pengaruh Sang Datuk atas keberlangsungan Soenting Melayu tampak kala beliah meninggal.

Kala Sang Datuk wafat, para perempuan redaktur tak mampu melanjutkan kerja menerbitkan koran padusi terbesar ini. M gelar Datuk Sutan Maharadja meninggal pada 1921. Dan Soenting Melajoe pun pudur, serta menghilang mengikuti si pembuatnya.

Soenting Melajoe dalam perjalanan sejarahnya telah menorehkan tinta emas. Perjalanan surat kabar ini turut membantu kelahiran perempuan terpelajar Minangkabau. Segera setelah surat kabar ini berhenti terbit, muncul berbagai media terbitan lain yang mengusung isu-isu kemajuan buat perempuan.

Bahkan para penulis Soenting Melajoe mampu memberi keberanian perempuan terpelajar keluar dari bayang-bayang mitos terhadap kaumnya. Zaman pasca Soenting Melajoe dalam periode sejarah perempuan Minangkabau merupakan era kekritisan mereka pada struktur dominan kala itu; Negara kolonial Belanda.

Era pasca Soenting Melajoe perempuan Minangkabau tak takut lagi pada kukungan kolonial. Mereka bahkan berani bersuara tak saja melalui tulisan, tapi juga oral. Mereka berorasi di tengah lapangan, menuntut lebih luas dari sekedar emansipasi. Para perempuan Minangkabau itu maju pada menuntut kemerdekaan. Merdeka dari kolonialisme Belanda. Wallahu’alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *