Sejarah Yang Membagongkan

Sejarawan Universitas Andalas

Tiba-tiba orang Bumiputera mesti belajar tentang negeri induk dan jajahan sebagai “sejarah nasional” Hindia-Belanda (Indonesia klasik) di sekolah-sekolah Barat bentukan pemerintah era kolonial. Kebesaran dan kehebatan leluhur bangsa Belanda menjadi bagian dari perjalanan sejarah orang di kepulauan Nusantara. Sementara nama-nama seperti Imam Bonjol, Teuku Umar, Diponegoro, Patimura, dan sezaman menjadi musuh bagi kaum Bumiputera. Pemberontak. Penjahat. Pelanggar rust en order, ketertiban dan kedamaian yang telah ditetapkan pemerintah kolonial.

Mata pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan di Hindia-Belanda masa kolonial menjadi salah satu materi pembelajaran utama. Sejarah diajarkan bersama pembelajaran ilmu hitung, geografi, dan Bahasa Belanda. Mata pelajaran bersifat kritis, seperti ilmu sosial atau politik justru didapatkan para pelajar dari kursus-kursus organisasi yang mereka ikuti.

Sejarah adalah mata pelajaran paling penting dalam sistem kurikulum kolonial. Materi dalam pembelajaran sejarah bertujuan menanamkan kesadaran dan makna pada anak didik untuk mencintai “lelaku” kaum kolonial. Cerdik dan liciknya, kebesaran dan kehebatan bangsa Belanda adalah narasi utama, sementara kejayaan lampau yang telah usang, memfosil, dan tinggal jejak adalah “sejarah ceceran” kaum Bumiputera.

Pada periode Jepang, sejarah lisan menjadi “suara” utama narasi sejarah Indonesia. Indonesia merupakan saudara muda Jepang. Saudara muda berkewajiban membantu yang tua sebagai etika badunsanak dalam norma ketimuran. Adapun saudara tua berhak menggunakan segala sumber daya “adiknya” dalam perjuangan melindungi “Tanah Air”.

Makna-makna hubungan Saudara Tua dan Saudara Muda ini melesap dalam kesadaran banyak orang. Tidak terkecuali sebagian pemimpin perjuangan kala itu. Mereka pun menjadi kelompok terdepan mensosialisasikan seruan-seruan itu sembari mendapatkan “fasilitas perut” di tengah perampokan bahan pangan dan kehormatan oleh tentara Dai Nippon.

Zaman berubah musim berganti, kata orang Minangkabau lama. Sudah masuk pula zaman kemerdekaan. Alah bauriah bak sipasin, kok bakiek alah bajajak, habih tahun baganti musim, sandi Adat alah dialiah dek rang lalu, cupak dipapek dek rang manggaleh.

Era pasca perang kemerdekaan ingatan akan masa lalu begitu bergelora untuk dituliskan. Bangsa kita baru saja hadir dalam kesadaran akan keperluan membangun narasi kontemporer yang berorientasi “sejarah kita”. Berbagai seminar dan diskusi dihelat untuk mencari jalan narasi “sejarah kita”. Sebagian malah ibarat moto PT Semen Padang kebanggaan urang awak, yang lain belum memikirkan yang dia sudah duluan membuat produk.

Tahun 1950an adalah era penulisan “sejarah kita”. Para aktor-aktor sejarah pergerakan, pimpinan revolusi, kaum terpelajar, dan pemerintah mencoba memberi arahan makna penulisan sejarah Indonesia baru tersebut. Namun sebagai negara bangsa dengan aktor dan peristiwa sejarah yang tidak sama satu dengan yang lain (einmaliq/ sekali terjadi), maka narasi “sejarah kita” jadi tak sama.

Siapa kita? Inilah pertanyaan paling penting dalam perumusan makna sejarah Indonesia era pasca kemerdekaan. “Siapa kita” dalam pencarian makna sejarah Indonesia akhirnya diformulasikan dengan sederhana; kita adalah bangsa yang menang perang melawan sejarah kolonial. Apa yang ada dalam narasi sejarah kolonial bukanlah wajah kita sebenarnya. Justru kita berada pada posisi biner dalam sejarah produk kolonial, dan saatnya membalik posisi tersebut dalam historiografi bangsa baru ini.

Jadi demikian makna penulisan sejarah bangsa ini pasca perang kemerdekaan. Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Diponegoro, Antasari, Patimura, dan “penjahat masa kolonial” dulu diseret sebagai pahlawan masa kini; kebanggaan dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Dan era ini juga memunculkan pahlawan-pahlawan baru dari Revolusi atau perang fisik melawan tentara Sekutu (Inggris dan Belanda).

Jika narasi makna penulisan “sejarah kita” berada pada ruang perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, dan keinginan Belanda yang hendak menjajah kembali. Kenapa 10 November 1945, hari perjuangan heroik di Surabaya “dimonumensasi” sebagai Hari Pahlawan? Apakah kita mengingati kepahlawanan melawan Inggris atau Belanda?

Sejarah bukan ditulis oleh para pemenang. Masa lalu adalah milik setiap orang. Sejarah yang diingat setiap orang akan menjadi pemenang dalam satu peredaran waktu. Maka dari itu, pemenang sejarah adalah mereka yang menulis sesuai keinginan zamannya. Sejarah adalah sebuah siklus yang menghadirkan yang lama dalam bentuk yang baru. Demikian terus menerus. Sungguh sejarah yang membagongkan!

“Hari ini sejarah membingungkan murid-murid”, kata sebagian guru-guru. Mereka mendapatkan arahan sejarah “versi pemerintah”. Pada sisi lain, berkelindan jua sejarah “versi umum” yang dipercayai banyak orang. Apatahlagi pada “jaman now” ketika media sosial seperti FB, Youtube, Instagram, Telegram, Twitter, dan sejenisnya menjadi ruang publik yang kritis mempertanyakan sekaligus melegitimasi versi sejarah sesuai kemauan mereka.

Terkadang versi sejarah publik dalam media sosial itu bertentangan dengan “versi pemerintah”. Pada posisi ini pembelajaran sejarah menjadi masalah besar dalam proses pewarisan “artefak negara-bangsa” ini pada generasi muda. Sejarah “versi publik” bahkan melahirkan “sejarawan amatir” yang seenak perutnya memuat tesis-tesis sejarah dan menganggap sebagai kebenaran masa lalu. Ini kondisi “sejarah membagongkan” yang lain.

Bulan ini adalah siklus sejarah “membagongkan” yang lain. Orang-orang menjadikan tanggal akhir September dan awal Oktober sebagai objek diskusi tentang kontroversi sejarah yang tak pernah tuntas. Peristiwa G30S tahun 1965 senantiasa direproduksi dalam bumbu-bumbu stigmanisasi, “pembegalan makna” sejarah, dan hujatan-hujatan.

Apakah narasi tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan rentetan kejadian yang mengikutinya telah usai di antara para sejarawan akademik kita? Sejarawan ternyata “dbagongkan” juga dengan berbagai tarikan kekuasaan di seputar masalah tersebut. Jika belum ada kata putus atau sepakat di antara para sejarawan sendiri terkait “kebenaran sejarah” G30S/PKI atau G30S/1965 serta pembantaian sesudah atau sebelum peristiwa gerakan itu sendiri. Maka bisa dipastikan “sejarah bagong-sejarah bagong” baru dari reproduksi historiografi dan maknanya akan senantiasa hadir dan mendatangkan kegaduhan baru di jagat persilatan sejarah kita. Wallahualam. (Diterbitkan Singgalang Minggu, 2 Oktober 2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *