Lai Ado Tambo Padusi?

Sejarah tentang orang Minangkabau penuh prasangka. Prasangka-prasangka ini dirujuk ke Tambo yang konon telah ada sejak Gunuang Marapi sagalang talua itiak. Tidak ada titik pijak sejarah yang bisa diklarifikasi sebagai realitas masa lampau. Semua kisah-kisah tentang orang Minangkabau ditutur secara lisan, atau ditulis dalam periode kontemporer. Sejarah lisan ini bisa berlebih, atau berkurang. Sementara sejarah yang ditulis masa kini tentang masa lalu memiliki lubang besar penjelasan yang akhirnya ditutupi dengan prasangka.

Tambo penuh dengan prasangka. Prasangka bukanlah hal buruk dilakukan. Dalam tradisi ilmu pengetahuan, prasangka adalah titik awal orang memulai kajian atau observasi. Tanpa adanya prasangka maka ilmu pengetahuan tak bisa berkembang. Tambo yang penuh prasangka justru memperkaya kita mengkaji apa yang coba dijelaskan dalam “historiografi tradisional”nenek moyang kita itu. Prasangka pada Tambo memberi kita siapa sesungguhnya orang Minangkabau secara komprehensif.

Salah satu prasangka dalam Tambo adalah soal padusi. Perempuan. Dalam Tambo kita cuma mengenal Puti Indo Jalito. Keberadaannya dalam Tambo ada dalam awang-awang kisah Datuk Suri Maharajo Dirajo, Datuk Katemanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabata, Datuk Suri Banego-Nego, dan para penghulu yang laki. Kita tak pernah tahu apa, siapa, dan kenapa dia dihadirkan dalam kisah Tambo.

Selain dalam Tambo, historiografi tradisional lain dalam masyarakat Minangkabau, Kaba, cerita tentang padusi relatif banyak, namun sedikit yang diletakkan dalam posisi yang tinggi. Padusi dalam Kaba yang paling terkenal adalah Bundo Kanduang dalam kisah Cindua Mato. Apakah Puti Indo Jalito dalam Tambo merupakan representasi Bundo Kanduang dalam Kaba Cindua Mato?

Sekali lagi, jawaban atas pertanyaan di atas penuh prasangka. Akan menarik bila bisa dicari kebenaran teks atas apa yang ditulis Tambo dengan Kaba. Tambo bisa kita lihat sebagai idealisasi keseluruhan sistem pengetahuan, sementara Kaba menjadi pengejawantahan sistem itu dalam kehidupan sehari-hari yang diramu si Tukang Kaba berdasarkan pengalamannya.

Pada konteks pengisahan itulah padusi sebagai unsur utama kerangka pembentuk Alam Minangkabau tiba-tiba ditempatkan di tepi cerita. Hampir semua kisah-kisah sejarah tentang Minangkabau tidak menurutsertakan padusi di negeri matrilineal. Ini ironi pengisahan dalam sejarah negeri kita.

Peminggiran padusi dalam kisah-kisah Tambo kita dapat dilihat pada ketiadaan peran mereka dalam konstruksi Alam Minangkabau. Tidak ada padusi dalam struktur balai adat. Tiada pula di Surau. Tabu mereka di lapau. Mana ada pula penghulu padusi? Pendeknya padusi berada di subordinat mamak atau penghulu di nagari. Kondisi ini berubah dalam era kolonial di Sumatera Barat.

Era kolonial merupakan masa penulisan Tambo padusi dalam sejarah orang Minangkabau kontemporer. Meski tanpa ada diniatkan, Politik Etis membuka lembaran Tambo bagi padusi Minangkabau.

Politik Etis di Minangkabau memberi padusi kesempatan yang lempang untuk belajar, berpikir, dan berekspresi. Mereka segera sangat dominan dalam pendaftaran di sekolah-sekolah modern. Meski pada awal padusi masih dihalang-halangi para mamak dan keluarganya untuk bersekolah. Namun gelombang pembaru dari kalangan Islam, seperti Haji Rasul, Zainuddin Labay, Inyiak Jambek, Abdullah Ahmad, dan kawan-kawan menjadi penawar sidingin pentingnya padusi keluar belajar banyak hal.

Justifikasi agama dan dukungan ulama kaum muda itu turut andil menggerus tabu kalau padusi Minang cuma penghuni tetap dapur dan sudut Rumah Gadang semata. Jadi tak heran, justru sekolah-sekolah yang didirikan jaringan ulama muda banyak diserbu para padusi muda itu, dan melahirkan generasi pertama ulama, penulis, aktivis, guru, politisi, dan intelektual terbuka.

Mereka-mereka itulah para aktor-aktor Tambo yang baru di Alam Minangkabau modern. Nama-nama seperti Rasuna Said, Daina, Syarifah Nawawi, Rahmah el  Yunusiyyah, Rohana, dan banyak lagi relatif menepikan nama-nama “penghulu klasik” dalam Tambo klasik. Praktis pada periode tersebut, para generasi baru modernis (Islam dan sekular) tak ada mengenal nama, seperti duo datuk (Perpatih dan Katemanggungan), Dang Tuanku, Cindur Mato, dan sebagainya.

Mereka terpana dengan dunia luar yang luas. Mereka menjadi perantau baru. Badan biar masih terkekang di pinggang bukit tradisi, atau lembah kekolotan penghulu nagari. Namun alam pemikiran mereka menemukan jalan penjelajahan tanpa batas. Tulisan-tulisan koleganya, dan kaum intelektual lain memberi mereka nama-nama para padusi lain dari Mesir, Eropa, Amerika, dan sebagainya.

Para padusi era Tambo Minangkabau modern tampaknya meresahan banyak pihak. Mereka mulai panik. Takut. Berniat “mengeluarkan” para padusi cerdas zaman itu dari narasi sejarah orang Minangkabau. Salah satu cara klasik yang mereka tempuh adalah mengembalikan sentimen purba yang memakai nama agama, atau tradisi pada padusi itu.

Era Jepang dan Revolusi merupakan fase pahit dalam narasi Tambo padusi Minangkabau pasca kolonial Belanda. Pada masa ini perempuan kembali dipandang inferior. Lemah. Tak sekuat laki-laki. Mesti makmun yang mengikuti laki-laki sebagai iman sebagaimana diajarkan agama. Perempuan terpelajar tidak memiliki otoritas keilmuan. Mereka memang berpendidikan tinggi, namun semua itu demi mengarahkan anak kandungnya, bukan anak-anak zaman. Apatah lagi periode Jepang dan Revolusi dianggap era kekerasan fisik yang tak sesuai dengan citra padusi yang lembut. Limpapeh Rumah Gadang.

Pasca kemerdekaan, Tambo kembali ditulis ulang. Padusi lagi-lagi ditepikan. Mereka bukanlah bagian dari arus utama narasi sejarah. Pahlawan padusi ditetapkan secara politis. Eksistensi mereka tak lain pendukung dari protagonis lelaki yang tengah berjuang melawan penjajahan Belanda yang hendak kembali.

Meski Rahmah el Yunusiyyah seorang tokoh paling penting dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau. Tapi ia disamarkan dalam bayang-bayang kakaknya, atau gurunya Inyiak Rasul. Demikian Rasuna Said, Rohana Kudus. Selalu ada nama-nama lelaki di belakangnya. Para padusi itu tak akan bisa bergerak bebas tanpa dukungan lelaki di belakangnya, baik itu ayah, kakak, mamak, atau penghulu di negerinya. Padusi sebagai entitas yang independen tak pernah diakui dalam Tambo Minangkabau pasca kemerdekaan.

Saat ini kepentingan adanya Tambo padusi tak bisa dinafikan lagi. Sama halnya masa kolonial, kelas-kelas di semua tingkatan sekolah, SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi, jumlah pembelajar dari kalangan perempuan sangat mendominasi. Ini tak ada hubungannya dengan tanda-tanda akhir zaman bahwa dunia akan berakhir. Hal ini lebih pada kesadaran dan dorongan dari eksistensi mereka untuk keluar dari bayang-bayang patriakis.

Persoalannya adalah siapa yang akan menulis Tambo padusi itu? Apakah padusi sendiri, atau lelaki juga? Hal ini sesungguhnya tak penting diperdebatkan, selagi narasi Tambo baru itu menempatkan padusi sebagai salah satu penggerak utama sejarah. Jadi siapa saja bisa menuliskannya. Wallahu’alam. (Telah terbit di Harian Singgalang Minggu cetak, 13/11/2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *