Haji Rasul dari Maninjau

Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas

kato.id/12 Agustus 2023

Muhammadiyah bagi orang Minangkabau ibarat gigi dengan bibir. Bukan orang Minang modern bila tidak Muhammadiyah. Jadi tak heran salah satu pusat kekuatan Muhammadiyah awal abad ke-20 di Indonesia berada di Minangkabau. Tokoh-tokoh dan lembaga pendidikan modern Muhammadiyah mendominasi pergerakan kebangsaan di ranah tersebut sejak masuk pada dekade kedua abad ke-20.

Tokoh-tokoh Muhammadiyah dari Minangkabau seperti Hamka dan AR Sutan Mansur merupakan pentolan utama persyarikatan ini di tingkat nasional.

Kebesaran Muhammadiyah dapat disandingkan dengan dua pusat pergerakan Islam awal di Minangkabau, seperti Ulakan dan Cangkiang. Bila abad ke-18 dikenal istilah “Agama Ulakan”, abad ke-19 “Ajaran Cangkiang”, maka pada abad ke-20 muncul istilah Muhammadiyah sebagai “agama baru” di Minangkabau.

Muhammadiyah di Minangkabau pada awal abad ke-20 tidak semata muncul sebagai lembaga pendidikan Islam paling modern, tapi juga model baru pemahaman keagamaan yang berbeda dengan “agama Ulakan”, dan “Ajaran Cangkiang”. Pada permulaan kehadirannya di berbagai nagari di Minangkabau terkenal ujaran “Agama Muhammadiyah” di kalangan penduduk. Ujaran ini seakan menahbiskan Muhammadiyah sebagai “Agama Ketiga” di kalangan penduduk Minangkabau di awal abad ke-20.

Sejarah

Kuatnya pengaruh Muhammadiyah di Minangkabau bermula dari dakwah Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA) ketika kembali dari Jawa. Beliau adalah ayah dari Buya Hamka, sekaligus mertua AR. Sutan Mansur.

Haji Rasul adalah ulama Kaum Muda paling berpengaruh di awal abad ke-20. Beliau bersama Syekh Djamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad, menggerakan pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Sebelum masuknya Muhammadiyah, surau Beliau, Surau Jembatan Besi, Surau Inyiak Djambek, dan Adabiyah School milik H Abdullah Ahmad menjadi pusat pembaruan Islam. Salah satu poin penting gerakan mereka adalah modernisasi pendidikan Islam, dan pergerakan anti-kolonial Belanda.

HAKA sendiri pasca pengelanaannya mencari ilmu ke Jawa sangat takjub dan terkesan dengan apa yang tengah dikerjakan saudara seperguruannya kala di Makkah, Haji Ahmad Dahlan. Ia berdiskusi sekaligus menyaksikan aktivitas Muhammadiyah yang jauh melampauhi angannya kala memimpin suraunya di Padangpanjang.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) menulis tentang ayahnya ini (1950), “Bukan sadja beliau membawanja ke Sumatera Barat, bahkan dalam perdjalanannya mengelilingi Sumatera, senantiasa Muhammadijahlah jang dipropagandakannja. Walaupun beliau tidak anggota, namun pintu Muhammadijah terbuka selamanja bagi beliau”.

Muhammadiyah mulai aktiv bergerak di Minangkabau pada 1925. Murid-murid ketiga ulama Kaum Muda itu tertarik memasuki perserikatan yang berkiblat ke Yogyakarta ini. Mereka bekerja keras memajukan perserikatan ini, apalagi di Minangkabau kala itu sedang bergema istilah “kemadjoean”. Istilah ini merupakan semangat untuk meraih pendidikan modern setinggi-tingginya, dan secara kebetulan Muhammadiyah menawarkan paham ini sehingga sekolah-sekolah perserikatan dengan cepat berdiri di nagari-nagari pelosok Minangkabau (Taufik Abdullah, School and Politic: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933).

Melawan kolonial

Namun di tengah semangat membangun dunia pendidikan itu, tokoh-tokoh Muhammadiyah di Minangkabau disentak dengan rencana pemerintah kolonial menjalankan Ordonansi Guru, atau Undang-Undang Tentang Guru. Undang-undang ini secara telak hendak menghancurkan infra dan supra-struktur yang telah dibangun para pejuang perserikatan di Minangkabau.

AR Sutan Mansur kala itu bahkan merasa pilu dengan UU ini. Hamka mengingat perkataan beliau, “Pajah kita, tjelaka kita. Kalau peraturan ini didjalankan disini (Minangkabau) lebih baik kita pindah sadja kenegeri lain”.

Rencana implementasi UU tentang Guru ini membuat orang Muhammadiyah di Minangkabau lemas lututnya. Mereka kebingungan sekaligus ketakutan. Namun Haji Rasul dengan patriotik tampil kemuka dan mengumpulkan orang-orang Muhammadiyah dalam satu pertemuan di surau sahabatnya, Surau Inyiak Djambek di Bukittinggi.

Haji Rasul menyatakan menolak UU kolonial itu dan pasang badan menolaknya di hadapan puluhan ribu umat Islam yang membanjiri surau Inyiak Djambek kala itu. Pernyataan keras kembali beliau sampaikan langsung di hadapan pembesar ambtenaar kolonial dalam sebuah pertemuan akbar pada 18 Agusust 1928.

Kata beliau, “Sejak saya mendengar maksud pemerintah hendak menjalankan ordonansi ini di Minangkabau, berguncang persendianku, lemah lunglai seluruh tulang belulangku. Tetapi peraturan ini akan dijalankan (karena)…kita ulama-ulama selalu berpecah-belah.” Haji Rasul meminta perwakilan pemerintah, Dr. De Vries agar pulang ke Batavia dan bilang ke Gubernur Jenderal agar membatalkan UU itu.

Tampilnya Haji Rasul sebagai penolak melegakan orang-orang Muhammadiyah. Mereka merasa memiliki bekingan yang kuat. UU itu akhirnya tak jadi berjalan di Minangkabau.

Namun upaya kolonial menghancurkan Muhammadiyah Minangkabau tak berhenti di sana. Pada 1932 pemerintah kolonial kembali mengeluarkan peraturan soal sekolah liar. Sekolah-sekolah yang tidak mendapat izin dari pemerintah akan mereka bubarkan, dan guru-gurunya ditangkap atau dibuang.

Belajar

Belajar dari dukungan Haji Rasul beberapa tahun sebelumnya, orang-orang Muhammadiyah Minangkabau bangkit dan melawan. Mereka bahkan berhasil menyatukan kelompok-kelompok Islam lain yang selama ini berkonflik, seperti Perti, Kaum Adat, Kaum Tua, dan sekolah-sekolah agama orang nagari.

Namun tokoh-tokoh Muhammadiyah itu belum berani tampil ke depan. Mereka pun meminta Haji Rasul memimpin. Dan beliau pun menyanggupi permintaan para tokoh Muhammadiyah itu.

Dampak dukungan tanpa takut pada perjuangan Muhammadiyah dan sikap anti-kolonialnya itu, pada 12 Januari 1941 Haji Rasul kemudian dibuang ke Jawa. Seperti halnya para pejuang Islam lain di tanah air, HAKA akhirnya meninggal di pengasingannya pada 2 Juni 1945.

Salah satu wasiat yang senantiasa Haji Rasul sampaikan pada kader-kader Muhammadiyah kala itu adalah larangan untuk taklid, meski pada pengurus besar di Yogyakarta. Selain itu dalam penglihatan beliau, orang-orang Muhammadiyah kala itu cuma pandai bicara agama, tapi dangkal ilmu agamanya.

“Banyak ahli pidatonya, sedikit ahli ilmunya,” demikian Haji Rasul satu kali menyampaikan kritiknya pada sang anak, Buya Hamka.

Saat ini para kader Muhammadiyah ada di berbagai lapisan masyarakat Minangkabau. Mereka menduduki jabatan-jabatan strategis sekaligus penentu secara politis. Sayang identitas mereka sebagai “orang Muhammadiyah” terkesan baju luar semata.

Bila mengutip istilah Bung Hatta di akhir 1970an, Muhammadiyah baru berada pada tataran mewarnai orang Minangkabau. Padahal tak kalah paling penting adalah politik menggarami kehidupan orang Minangkabau. Bila hal ini terwujudkan, maka dalam jangka waktu tidak berapa lama lagi akan muncul kembali gerakan pembaruan Islam jilid ketiga di negeri ini setelah Padri, Kaum Muda, dan akan datang. Insya Allah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *