Analisis Etnometodologi dan Percakapan

Rona Almos (Dosen Sastra Minangkabau, FIB Unand)

Pada artikelnya yang berjudul “Sociolinguistics Potential of face to face interaction”, Kottoff (2010) memaparkan bahwa para ahli teori sosial, khususnya sosiolog, mencoba memahami bagaimana masyarakat terstruktur dan ‘kekuasaan’, ‘kelas’ atau ‘gender’ didistribusikan, diorganisasikan, dan diindeks. Ini adalah perhatian utama sosiolinguistik memeriksa kemungkinan hubungan antara bahasa pada satu sisi, dan konsep-konsep di atas pada sisi lain.

Kebanyakan sosiolog menganggap kategori structural seperti “kelas” atau “gender” sebagai masalah makro. Perbedaan mikro/makro merupakan sumber kebingungan dalam memikirkan penyebab ketidaksetaraan. Ilmuwan sosial terkadang mengaburkan perbedaan antara penyebab individu dan sosial dari fenomena tertentu. Apa yang menyebabkan satu orang menjadi miskin tidak selalu menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan masyarakat. Sosiolinguistik membedakan tingkat makro masyarakat dan tingkat mikro fenomena wacana.

Rentan

Sosiolinguistik sangat rentan terhadap perbedaan interpretasi hasil penelitian yang telah menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang berbeda. Bagaimana seseorang mempelajari masalah tertentu, ditentukan pertanyaan penelitian. Jadi, jika kita mempelajari realisasi suatu tindak-tutur tertentu dalam masyarakat tutur tertentu. Kita akan memilih mengumpulkan data dalam interaksi tatap muka.

Studi interaksi dapat menjelaskan kompleksitas kehidupan sosial di luar reifying kelompok stratified statis, dan mereka sangat prihatin dengan persimpangan antara kelas, gender dan jenis identitas lainnya. Berbagai aliran telah berkontribusi pada munculnya analisis interaksi sebagai disiplin yang menjembatani antropologi, linguistik, ilmu komunikasi dan sosiologi. Pada kesempatan kali ini akan dipaparkan mengenai etnometodologi, dan analisis percakapan.

Lima premis

Etnometodologi mengutamakan analisis percakapan (conversation analysis), dengan tujuan untuk memahami secara detail struktur fundamental dari interaksi antara peneliti dan aktor. Ritzer merangkum dasar-dasar analisis percakapan ke dalam lima premis, yaitu:

a) Analisis percakapan membutuhkan data percakapan yang detail. Data ini tidak hanya meliputi kata-kata, tetapi juga keragu-raguan, desah nafas, sedu-sedan, gelak tawa, perilaku non-verbal, dan berbagai aktivitas lainnya. Sebab semua itu menggambarkan perbuatan percakapan aktor yang terlibat.

b) Detail percakapan harus dianggap sebagai suatu prestasi, dimana percakapan diatur oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri.

c) Interaksi umumnya, dan percakapan khususnya, mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur, sehingga keberhasilan para aktor akan dilibatkan.

d) Landasan fundamental dari percakapan adalah organisasi yang sequential. e) Keterikatannya dengan interaksi percakapan diatur dengan bergilir.

Dengan demikian pelaksanaan penelitian Etnometodologi tidak diartikan sebagai metode yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data, tetapi lebih terfokus pada bagaimana memilih pokok permasalahan yang akan diteliti. Sebagaimana yang dijelaskan sejarah kemunculan metode penelitian ini, bahwa istilah Etnometodologi bermakna penekanan pada metode pemilihan masalah yang dikaji bukan metode memperoleh datanya.

Pragmatis

Analis percakapan (sebagai pragmatis) berasumsi bahwa ucapan yang berpotensi ambigu disamarkan dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, prosedurnya bersifat rekursif; anggota suatu budaya dapat mengoordinasikan tindakan mereka. ‘Metode’ mereka yang sebagian besar konsisten ditunjukkan dalam ‘tampilan’ leluhur yang diucapkan. Contoh kalimat yang mengandung makna ambigu.

“Buku sejarah baru terbit bulan ini”

  1. buku sejarah itu baru terbit bulan ini
  2. buku yang berisikan sejarah baru (bukan sejarah lama) baru akan terbit bulan ini

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat kita perhatikan bahwa untuk menghindari kesalahan dalam menafsikan kalimat seperti di atas, penutur harus dapat mengucapakannya dengan menggunakan intonasi yang tepat. Jika kita lihat secara tulisan, penulis dapat menggunakan tanda penghubung pada kata-kata yang ia anggap ambigu. Pada contoh kalimat di atas, “Buku sejarah baru terbit bulan ini”. Sebaiknya penulis memberi tanda hubung pada kata sejarah-baru; apabila yang ia maksud buku berisikan sejarah baru, bukan sejarah yang lama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *