Tan Si Dagang Sansai

Yudhi Andoni
Dosen Sejarah Universitas Andalas

Gadang aia Sungaibatang, tarandam batang saliguri, disangko paneh sampai patang, kironyo hujan tangah hari; disiang tak tasiang, tiok disiang tumbuah juo, dirintang tak tarintang, tiok dirintang rusuah juo; dimano jawi ka kanyang, bagubalo di tapi ngarai, dimano hati nan ka sanang, sadang bakasiah badan bacarai. Demikian rusuh dan pancamehnya hati para perantau Minangkabau di awal abad ke-20.

Abad ke-20 bukan semata masa awal perubahan dunia dengan segala kemajuannya. Bagi orang Minangkabau, awal abad itu membikin gundah. Tradisi mereka mendapat tantangan besar dari air bah yang datang tiba-tiba mengubah tepian. Dengan cepat jalan sudah dialih orang lalu, cupak dipapek orang manggaleh. Dunia luar yang dulu hanya mereka temui kala keluar dari nagarinya, tiba-tiba telah berada di depan pintu masing-masing.

Tak ada lagi lepasan anak rantau yang beriba hati. Tak sempat lagi perantau menyanyikan ratok anak dagang yang hilang di kampung si bunian. Entah hidup entah tido. Kalau mati di perantauan cuma minta doa dan keikhlasan mandeh telah memberi makan selama ini. Iba kita. Tapi di awal abad ke-20 itu, kota-kota tumbuh di pusat-pusat peradaban orang Minangkabau. Pasar Kurai menjadi Kota Bukittinggi. Padangpanjang. Payakumbuh. Pariaman. Pekan-pekan yang sunyi tiap hari kecuali hari pasarnya, tiba-tiba disunglap dengan bangunan-bangunan modern. Banyaklah orang berjual beli. Uang mengalir deras.

Orang Minangkabau kemudian dimasukan ke satu sistem yang besar, negara kolonial. Datuk-datuk nagari ditundukkan oleh para laras, demang, asisten residen, residen, dan Yang Mulia Gubernur Jenderal di Batavia. Balai adat dialihkan ke gedung-gedung pengadilan, penjara, atau kantor polisi. Setiap pelanggaran yang ditentukan Negara Kolonial memiliki konsekuensi hukum. Tak ada lagi hukum tingkarang, yang ada denda dan penjara bertahun-tahun. Dipaksa dengan senjata dan marsose.

Dahulu rabab yang bertangkai, kini kopi yang berbunga. Dulu adat yang berpakai, kini rodi yang berguna. Setiap orang Minangkabau di kampungnya punya kewajiban lain, bekerja rodi dan bayar belasting, pajak ke kantor tuanku laras. Sempat terjadi penolakan atas pelaksanaan pajak ini sehingga dikenal sejarah “Perang Pajak” pada 1908. Tapi dengan dengan cepat “pemberontakan” ini ditumpas.
Meski dunia berubah dengan memberi ruang paneh yang badangkang, orang Minangkabau adalah masyarakat yang terbiasa dengan kemampuan transhistorisnya, bisa bermengembik meski auman di dalam dada. Mereka memiliki kemampuan memanfaatkan situasi yang dihadapi, meski di tubir jurang.

Salah satu yang mereka manfaatkan secara baik adalah pengenalan dan kemunculan sekolah-sekolah Barat. Kemunculan sekolah-sekolah Barat dibentuk Negara Kolonial untuk melahirkan generasi melek pengetahuan modern dalam standar minimalis. Namun di tangan orang Minangkabau, sekolah-sekolah itu menjadi jembatan kemajuan. Segera mereka mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah itu. Belajar berhitung. Belajar Bahasa Belanda. Larut dalam gaya hidup baru guna mempermudah akses ke kekuasaan, dan membuka horizon pemikiran mereka.

Dengan kesadaran sendiri orang Minangkabau akhirnya melihat semua itu adalah rantau baru yang menggairahkan. Akibatnya semakin banyak anak-anak muda Minangkabau merantau kota dan intelektual. Salah satunya Ibrahim bergelar Tan Malaka, anak Pandamgadang, Suliki, yang datang di awal abad ke-20 ke Bukittinggi hendak belajar ke Sekolah Radja.

Sekolah Radja memberi Tan kehidupan baru sebagai calon Engku Gadang bila ia kembali ke Suliki sana. Tan dan teman-temannya dididik dengan cara-cara modern. Mereka didoktrin soal cara berpakaian modern. Makan ala Barat. Bergaul dengan membatasi diri. Belajar Bahasa Belanda agar bisa memahami pelajaran ilmu ukur, ilmu bumi, sejarah, ilmu alam, ilmu hayat, ilmu hewan-tumbuhan, musik, olahraga, dan menikmati waktu senggang yang khusus diberikan pada seluruh murid.

Tan Selesai studi di Sekolah Radja pada awal dekade kedua abad ke-20. Ia kemudian disekolahkan ke Belanda atas usul gurunya Horensma, dan didukung lembaga derma Suliki yang didirikan khusus untuk Tan. Lembaga derma ini didukung para guru, pegawai negeri, dan sejumlah orang kaya di nagari itu. Setiap bulan mereka akan mengirimi Tan uang sejumlah f 30 perbulan. Akumulasi uang itu dianggap hutang, dan nanti akan dibayar Tan setelah menyelesaikan studinya di Sekolah Guru Haarlem, Belanda. Tan pun pada 1913 berlayar bersama guru Belanda dan keluarganya ke Eropa.

Sebagai datuk dan perantau muda, Tan dilenakan segala cita dan imaji bagaimana dia nanti pulang. Maka ia pun belajar dengan tekun dan serius. Dalam sebuah surat yang ditulis gurunya di Harleem, tentang Tan disebutkan,
“Ia segera diterima dalam masyarakat kelas kami dan, menurut hemat saya, ia segera merasa senang. Sama sekali tidak ada apa yang dewasa ini begitu banyak dibicarakan; diskriminasi bangsa. Kami menganggapnya sebagai Hindia Timur yang menarik perhatian” (Harry A Poeze, Tan Malaka; Pergulatan menuju republik 1897-1925, 2000).

Tapi sebagaimana nasib anak rantau, Tan mengalami berbagai kegagalan-kegagalan. Ia gagal karena “sakit” ketika masih bersikeras menempuh jalan “menjadi kolonial”. Pada suratnya ke Horensma, gurunya yang baik, Tan menulis.
“Saya hanya sangat merasa kecewa karena saya telah bekerja keras selama tiga tahun dengan sia-sia belaka. Belajar untuk mendapat akta kepala memang sesuatu yang penuh dengan hal-hal yang sepele dan tidak berarti” (Ibid; 91).

Tan pun memilih kembali ke Hindia-Belanda, tapi tidak ke Minangkabau. Ia memilih menjadi guru untuk anak-anak kuli kontrak di Deli, salah satu area “neraka dunia” di Hindia-Belanda kala itu. Deli memberi horizon baru Tan tentang eksploitasi manusia terhadap manusia. Tan pun menemukan dirinya untuk “menjadi manusia merdeka”. Tapi dalam kesunyatan yang ia temukan kemudian, Tan memilih “menjadi Indonesia”. Tan pun sebelum yang lain bicara kemerdekaan telah menulis karya Naar de Republiek Indonesia (1925), dua dekade sebelum Sukarno-Hatta memproklamasikan eksistensi RI.

Tan pun hadir ketika Sjahrir dan pimpinan Republik tengah dipermainkan diplomat-diplomat Belanda. Ia pun lantang menyampaikan “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.” Namun Tan meski benar, ia terlalu keras bicara di tengah krisis. Ia dianggap tak tahu adat meski kalangan tentara mendukungnya, termasuk Jenderal Sudirman.

Tan akhirnya ditangkap, dan ditembak mati di Selopanggung pada awal tahun 1949. Sansai sudah si anak dagang itu. Konon di depan polisi yang menangkapnya di Hongkong pada 1927, dan diancam akan dibunuh, Tan berseru tegas, “Di dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras”, katanya. Wallahu’alam.

One thought on “Tan Si Dagang Sansai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *