Strategi Cerdas Menguatkan Adat: Sjarikat ‘Adat Alam Minangkabau (SAAM) dalam Alam Kolonial

Sjarikat ‘Adat Alam Minangkabau (SAAM) merupakan organisasi payung modern para penghulu ranah ini. Bila sebelumnya para penghulu bergabung dalam satu organisasi bersifat tempatan. SAAM menghimpun segenap datuk-datuk, dan ninik-mamak tanpa memandang batasan tradisi tiap nagari. Bagi SAAM tak ada adat salingka nagari. Syarikat ini justru menunjukkan peran baru para penghulu kaum sebagai Datuk Minangkabau par excellence.

Datuk Minangkabau merupakan buah kemunculan dan praktik kolonialisme sejak akhir abad ke-19. Kolonial telah menghancurkan sekat antar-nagari yang sebelumnya otonom. Pemerintah kolonial Belanda memaksa pembentukan federasi nagari dalam satuan administrasi. Kebijakan ini lambat laun membentuk satu kesadaran adminstratif para orang Minangkabau. Mereka tercatat sebagai warga satuan adminstratif ketimbang suku atau kaum seperti halnya dahulu pre-kolonial.

Bila dulu mereka mengaku sebagai orang Suku Chaniago pada Nagari Matur. Tetapi pada fase kemudian, mereka mengasosiasikan diri sebagai orang Minangkabau kala berada di luar administrasi Sumatera Westkust, atau Padangsche Bovenlanden. Demikian orang Chaniago dari Matur itu mengaku sebagai orang Minangkabau kala berinteraksi dengan suku Jawa, Sunda, atau Batak di Batavia. Matur. Kotogadang. Bukittinggi. Kurai. Maninjau. Semua itu sekedar menjadi kampung halaman. Realitas ini juga berdampak pada konsepsi dan filosofi seorang penghulu yang mulai tergerus kuatnya pengaruh nilai-nilai Barat dan Modernisme Islam melalui dunia pendidikan modern kala itu.

Dorongan kedua nilai tersebut meski menggusari para datuk-datuk di nagari. Namun sebagian mereka yang telah mendapat pendidikan modern, mengangkat kesadaran pentingnya peran penghulu pada tataran lebih luas. Konsepsi Alam Minangkatau tak lagi semata horizon filosofis, tetapi sebuah kesadaran sejarah. Pada tingkat kesadaran ini SAAM muncul sebagai penunjuk jalan.

Eksistensi

SAAM berkembang sebagai pusat tafsir serta pembentuk adat baru Minangkabau. SAAM berbarengan dengan Perkoempoelan Minangkabau (PM) di Bukittinggi. Apakah PM merupakan inspirasi utama keberadan SAAM atau sebaliknya? Hanya saja bila PM konsentrasi dekonstruksi adat lama menjadi adat baru nan moden. Maka SAAM fokus pada perpolitikan secara cerdik. Politik sato sakaki SAAM memberi ruang penting terhadap eksistensi para datuk modern. Bahkan pada titik tertentu, para anggota SAAM relatif mampu mempengaruhi berbagai kebijakan politik.

SAAM dengan cerdik menempatkan Datuk Rajo Intan, Kepala Distrik Tilatang IV Angkek, sebagai penasehat sekaligus pembina organisasi. Engku Datuk Rajo Intan ini dalam mata pemerintah kolonial adalah teladan pejabat bumiputera. Seorang yang setia dan berjasa dalam penguatan sendi-sendi kolonialisme di Minangkabau. Pada 1923 beliau mendapat anugerah Bintang Perak pemerintah kolonial atas jasa-jasanya tersebut. Bahkan pada 1934, Engku penasehat ini mendapakan lagi Bintang Perak Besar (Groote Zilveren Ster) sebagaimana berita Berita Adat No 1 tahun 1935. Konon penyematannya dilakukan Asisten Residen Agam. Pejabat kolonial dari kalangan Eropah paling tinggi.

“Dalam itoe toeankoe sangat berdjasa poela sebagai Adviseur dari Sjarikat ‘Adat Alam Minangkabau, jang mana SAAM itoe soedah dihargakan oleh pemerintah tinggi, karena satoe-satoenja persjarikatan jang semata-mata membawa kebaikan ra’jat bersama isinja,” (Majalah Berita Adat, No 1, Januari 1935).

Selain kiprah Engku Datu Rajo Intan, anggota SAAM seperti Datuk Betjo, Angku Palo Soengai Toeak, Kotomalintang, pun mendapat perhatian serius pemerintah kolonial. Angku Palo satu ini pun mendapat Bintang Tambago pada 1923 atas jasa-jasanya.

“Moelai dari 27 tahoen jang laloe angkoe bekerdja mendjadi Penghoeloe Kepala Soengai Toeak Koto Malintang. Sebagai lid kerapatan dan adviseur SAAM angkoe bekerdja teroes oentoek keselamatan anak boeah dan negeri, sebab itoe pemerentah tidak meloepakan djasa-djasa angkoe itoe,” (Ibid.).

Elitis

Persyarikatan SAAM berdiri pada 1914. Datuk Rajo Intan merupakan salah seorang pendiri. Sayang pada awal kiprahnya, SAAM tak banyak berbuat banyak dalam konteks penguatan konsepsi adat baru mereka. Para pendiri SAAM yang memang berasal dari para pejabat kolonial cenderung membawa persyarikatan pada kegiatan bersifat politis. Hal ini makin kuat seiring kecenderungan SAAM menerima anggota (lid) dari kalangan penghulu basurek atau datuk kolonial. SAAM mulai menunjukkan eksistensi lima tahun kemudian, seiring masuknya lid pejabat.

SAAM awal berdiri di Kamang. Perkumpulan ini kemudian melebarkan sayapnya ke Tilatang, kemudian ke IV Angkek, dan terus merayap ke daerah-daerah lain di Sumatera Barat. Salah satu keberhasilan SAAM adalah mengadakan konggres perserikatan yang menghadirkan pejabat tertinggi kolonial. SAAM mengadakan kongres pada tanggal 5 April tahun 1934. Syarikat ini berhasil meyakinkan Residen dan Asisten Sumatera Barat kala itu hadir, serta memberikan petuah atas keberadaan SAAM.

Persyarikatan SAAM kala itu memiliki trio; Datuk Rajo Intan, Datuk Nan Bahajat, dan Datuk Beco. Ketiganya merupakan tigo tali sapilin yang membawa SAAM menjadi organisasi penting, tak saja antara para penghulu, tapi juga pemerintah kala itu.

SAAM itoe tak dapat dibawa kedalam segala partij, sebab SAAM berpendirian semata-mata kepada adat oentoek kebaikan oemoem bagi negeri dan isinja, ataoe berpendirian dengan alasan, nan koerik koendi, nan merah sago, nan baik boedi, nan endah baso. Dengan air itoelah SAAM meoetamakan jang ditjoerahkan kepada ra’jat,” (Majalah Berita Adat, Ibid).

Mundur

Sayang pasca keunduran diri para Trio-nya, persyarikatan ini mulai kehilangan peran. Juga keanggotaan SAAM yang elitis berturut andil atas hilangnya pamor lembaga ini. Mendekati Perang, SAAM betul-betul kehilangan sentralitasnya sebagai persyarikatan para penghulu. Apatah lagi para pengurus dan anggota SAAM tidak mendapat tempat dalam gerakan penentangan kebijakan Sekolah Liar. Satu kebijakan merugikan para guru-guru agama di berbagai sekolah partikelir Bumiputera.

Kepasifan SAAM dalam isu menentang ordonansi Sekolah Liar pada pertengahan dekade 1930an, menempatkan persyarikatan ini di ruang marginal. Gerakan tentangan terhadap Ordonansi Kolonial ini merapatkan dua tepian di Minangkabau yang selama  ini berjauhan; kaum muda modernis Islam dengan Datuk Modernis berpikiran progresif. SAAM kehilangan panggung.

Dekade kelima awal abad ke-20 bertanda pada pertautan tiga tepian gagasan orang Minangkabau. Kaum Modernis Barat, Ulama Muda, dan Datuk Modern menjadi unsur utama Tungku Tigo Sajarangan atau Tigo Tali Sapilin baru dalam masyarakat Minangkabau. Penyatuan mereka melalui berbagai pertemuan dan media massa cetak kala itu melahirkan gagasan-gagasan serta filosofis Adat dan Alam Minangkabau yang asimilatif. Pada tingkatan tersebut, seakan Paderi tak lain sebuah kisah masa lalu, dan hanya buah kesalahan kolonialisme Belanda. Wallahu’alam.

Penulis
Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Sumber: Harian Singgalang Minggu (30 Januari 2021).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *