Kala Tradisional Islam Bermitra dengan Modernis Perkotaan dalam Pilpres 2024

Masyumi, NU, dan Muhammadiyah

Indonesia, kato.id. Tradisional Islam yang identik dengan warga Nadhlatul Ulama (NU) sukar lepas dari pesona politik praktis. NU pernah menjadi partai politik pada 1952 kala keluar dari koalisi Masyumi. Keluarnya NU dari koalisi salah satu penyebabnya adalah sulitnya bertemu kepentingan mereka dengan kaum modernis yang kala itu diwakili Muhammadiyah.

NU kemudian ikut dalam Pemilu 1955 dan meraih suara ketiga terbanyak. Ketika pergolakan daerah terjadi, PRRI/Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi yang banyak didukung kaum modernis melalui Masyumi, NU bersama pemerintah mendorong aksi militer memadamkan gerakan pemberontakan itu. Aksi militer itu makin menguatkan polarisasi kelompok Islam tradisionalis dengan Muslim perkotaan seperti Muhammadiyah.Namun aliansi politik PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang merepresentasikan kekuatan NU, dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang identik dengan Muslim Perkotaan dalam Pilpres 2024 menjadi era baru hubungan keduanya. Menarik pernyataan Cak Imin, ketua PKB kala bertemu dengan pimpinan PKS baru-baru ini.

“Goodbye masa lalu, perbedaan-perbedaan yang enggak penting, kita songsong masa depan untuk cepatnya terwujud pembangunan yang adil makmur dan sejahtera,” kata dia, sebagaimana dikutip dari kumparan.com.

Kemesraan tradisional Islam dengan modernis perkotaan yang akhirnya bersatu dalam kepentingan Pilpres 2024 serasi dalam kiasan Minangkabau klasik; sekali air besar melanda sekalian tepian berubah. Artinya setiap perubahan yang terjadi akan menyebabkan pergeseran kepentingan yang dulunya menjadi kausa konflik.

Polarisasi kaum tradisional dengan modernis Islam sangat erat dengan politik perpecahan yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Bagi Belanda, kesatuan dua kelompok besar dari sisi jumlah pengikut serta pengaruh ini dianggap membahayakan dominasi mereka di desa-desa di Jawa maupun perkotaan.

Para Kiai di pedesaan Jawa sejak awal kedatangan kolonial Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), Kongsi Dagang Hindia-Timur, merupakan ancaman laten yang mereka kuatirkan. Gerakan-gerakan anti-VOC sering melibatkan para santri dan Kiai mereka. Maka dari itu pemerintah kolonial pun sangat hati-hati ketika mereka berhubungan dunia pesantren.

Sejak awal pemerintah kolonial cenderung mendukung munculnya kelompok Modernis Islam yang ada di perkotaan. Mereka bahkan memberikan subsidi pada sekolah-sekolah Barat yang didirikan kaum terpelajar Muslim Perkotaan ini. Namun pertumbuhan dan perkembangan kelompok Modernis Perkotaan ini yang luar biasa membuat pemerintah kolonial mengeluarkan serangkaian Ordonansi (peraturan) untuk membatasinya.

Pada 1905 Pemerintah Kolonial mengeluarkan Ordonansi Guru. Ordonansi ini berisi pembatasan dan pelarangan guru-guru yang tidak kompeten mengajar di sekolah-sekolah yang ada. Meski pada tataran literal Ordonansi ini menyasar para guru tak bersertifikat, namun sasaran tembak pemerintah adalah para ulama-ulama muda yang mengajar di sekolah Muhammadiyah maupun pesantren modern milik NU. Pada umumnya mereka pasca tamat sekolah meski belum berakta guru telah diminta mengajar di berbagai sekolah-sekolah partikelir.

Para ulama muda itu memiliki semangat anti-pemerintah yang kental, sehingga para intel kolonial sering menghentikan pelajaran di kelas-kelas mereka karena takut para murid terhasut. Namun militansi ulama-ulama muda itu membuat berang Batavia dan mengeluarkan Ordonansi Guru membatasinya.

Pemberlakuan Ordonansi Guru di Jawa dan Sumatera mendatangkan serangkaian aksi penolakan dari organisasi Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Adabiyah, Sumatera Thawalib, dan banyak lagi. Mereka justru menuding Pemerintah Kolonial tengah menghancurkan Umat Islam Indonesia. Maka dari itu mereka pun bersama-sama menolak implementasi Ordonansi tersebut.

Usaha mematikan gerakan edukasi modern di dalam masyarakat Muslim itu kembali dilakukan Pemerintah Kolonial melalui Ordonansi Sekolah Liar pada 1935. Pemerintah Kolonial kali ini lebih tegas lagi, melarang dan menangkap guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah yang tidak mendapat pengakuan dari pemerintah atau setidaknya penguasa lokal. Kali ini Batavia mencoba mengadu domba penguasa lokal pribumi dengan ulama di desa dan kaum terpelajar Muslim terkait pelaksanaan Ordonansi Sekolah Liar.

Keterlibatan demang, wedana, dan ambtenaar lainnya melarang para guru agama datang ke sekolah mereka untuk mengajar mendatangkan kebencian mendalam pada penguasa pribumi tersebut. Namun pada sisi lain, usaha adu domba Pemerintah Kolonial itu menyatukan dua tepian yang selama ini saling berjauhan; kaum tradisionalis dengan modernis. Penyatuan kedua kelompok Islam ini, di desa dan di kota, pada akhirnya merugikan Pemerintah Kolonial yang tengah menghadapi perang Pasifik melawan Jepang.

Pada pertemuan para ulama berpengaruh, seperti KH Mas Mansur, KH Muhammad Dahlan, KH Wahab Hasbullah, dan W Wondoamiseno, yang merepresentasikan Muhammadiyah, NU, dan Sarekat Islam, pada 21 September 1937, mereka pun membentuk “Majelis Islam A’la Indonesia” (MIAI). MIAI menyerukan agar Umat Islam tidak mendukung Pemerintah Kolonial dalam perang.

Ketika Kolonial Belanda menghadapi Jepang dalam PD II, Umat Islam memang cenderung memunggung ketimbang menyerukan jihad mendukung. Bahkan ketika Jepang masuk ke berbagai kawasan Indonesia, para ulama muda dan kaum terpelajar Muslim mendukung terang-terangan kedatangan “Saudara Tua” mereka itu. Umat Islam masa pendudukan Jepang (1942-1945) memang kemudian mendapat tempat spesial dengan mengizinkan MIAI sebagai organisasi menampung aspirasi umat.

Pada perkembangan selanjutnya, MIAI berubah menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada 7 November 1945. Dalam tubuh Masyumi bersemayam berbagai pandangan keislaman, yang berpolarisasi pada tradisionalisme Islam dan Modernisme Islam. Sayang pertentangan kedua kelompok ini akhirnya meruncing pada awal 1950an yang membuat NU keluar dari Masyumi dan Muhammadiyah kembali ke sejarah awalnya sebagai perserikatan sosio-keagamaan.

Saifuddin Zuhri, dalam karyanya “Secercah Dakwah” (1983), menulis, “Bagi umat Islam (NU), menyatukan diri dalam satu partai ataukah berdiri sendiri-sendiri bukanlah masalah, karena itu tidak mutlak. Umat Islam selamanya satu, dan sanggup memperlihatkan kesatuannya lebih kompak dan homogen jika keadaan memanggil. Hal itu telah dibuktikan dalam sejarah berulang-ulang.”

Atas kebijakan Orde Baru melalui penyederhanaan partai-partai politik di awal 1980an, NU menyatakan kembali pada Khittah 1926, sebagai jami’iyah diniyyah ijtima’iyah. Kaum tradisionalis Islam kemudian berkonsentrasi pada pembangunan sarana pendidikan modern, mengejar ketertinggalan mereka dari kelompok modernis yang telah lebih dulu melaju.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *