Indonesia adalah rumah nasion bersama

(Kato.id. 11/2/ 2022). Kesadaran ber-Indonesia telah jatuh pada sekedar identitas administratif tanpa makna. Seakan Indonesia sebuah entitas yang lahir tanpa proses panjang. Realitas keindonesiaan kita ganalnya turun dari langit. Ia anugerah yang patut kita syukuri melalui doa-doa dan ritual peringatan semata. Oleh karena itu, ber-Indonesia adalah slogan tanpa konsekuensi tindakan, yang mestinya menghasilkan perbuatan perjuangan melewakan pilihan-pilihan, sebagaimana halnya dulu para founding fathers kita perjuangkan.

Tersebab realitas ber-Indonesia mengangitkan anugerah dari langit. Sejumput surga dunia. Kita jadi tamak dari dalam diri sendiri. Sekedar keinginan menjaga negara-bangsa sebagai warisan, bak biduk lalu kiambang bertaut. Korupsi tetap saja menjadi-jadi. Kekayaan negara secara canggih menghidupi sebagian warga-negara yang lekat dengan Sang Protektorat.

Pengorbanan mereka anggap tertakhlik pada imaji, dongeng, bahkan hikayat pengawan para pengangguran menyedihkan. Jangan bertanya, apa yang bisa kita korbankan untuk negeri ini? Hal itu hanya mendatangkan jawaban kerutan wajah pada yang ditanya. Sumbangsih kebangsaan berupa harta, nyawa, dan air mata kepada negeri ini, justru menganggaikan itu sebagai sebuah tuturan masa lalu para nenek-moyang. Sebuah bahana tragik dari selaur bangsa yang lahir dari jalan terjal sejarah perbudakan, eksploitasi, dan kedurjanaan dari pengkhianatan kolega sebangsa.

Anak emas kolonial

Dunia kolonial Nusantara pada awal abad ke-20 justru menubuhkan kesadaran sejarah, kebebasan manusia dari manusia. Para pelajar Bumiputera yang menjadi anak emas kolonial, tak puas pada pencarian ontologis sebagai putra-putri terbaik Nusantara kala itu. Mereka memang terpuaskan sebagai kelas sosial baru yang diberi tempat dalam ruang kecendalaan kolonial, serta puja dalam masyarakatnya sendiri. Namun persinggungan mereka dalam penelusuran jejak sejarah sebagai anak bangsa yang pernah ada, menyibakkan adanya mutiara terbenam yang lebih berharga dari entitas Negara Kolonial.

Perjuangan para kaum terpelajar Nusantara bukan sebuah keinginan pengakuan atas konsepsi kewargaan kolonial (colonial citizenship). Perjuangan mereka tak bisa diegalisasi dengan keinginan Hanafi dalam Salah Asuhan karya Abdoel Moeis pada 1928 lalu. Hanafi ingin menjadi kolonial tersebab hendak menikahi Corrie. Sementara kaum terpelajar Bumiputera Nusantara itu justru mau menetaskan realitas kewargaan sendiri yang lepas dari modernitas kolonial. Mereka sangat anti-kolonial.

Sejak tahun 1910an, gerakan menjauh dari pengaruh modernitas kolonial telah tampak pada kelas sosial baru Nusantara itu. Mereka menyemai ontologi keindonesiaan khasnya yang berzuriatkan pada tulisan-tulisan di media cetak terbitan sendiri. Filsafat berkeindonesiaan mereka bermula dari kesadaran kebodohan versus kemajuan. Maka selama dekade pertama dan kedua awal abad ke-20, gagasan tentang kemajuan berupa pemberian pendidikan modern pada rakyat sendiri menjadi seruan gerakan mereka. Bak cendawan musim hujan, sekolah-sekolah partikelir mereka pun tumbuh di kota,  dan pedesaan yang jauh.

Para cendikiawan Nusantara fase pertama ini meletakkan pondasi berkeindonesiaan mereka pada lingkup kesadaran literatif, karena tanpa keinsafan atas pentingnya kemampuan berbahasa meliputi menulis, berbicara, dan membaca, maka gagasan tentang komunitas baru bernama Indonesia tak akan mendapat bentalanya. Butala Indonesia menjadi arena dalam fase kedua kebangkitan para intelektual Nusantara yang diwakili cendikia macam Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan lain-lain.

Pilihan

Ada dua pilihan cendikia Nusantara pada periode klimaks kolonialisme di Hindia-Belanda, yakni turut ambil bagian dalam penguatan pondamen kolonialisme, atau berdiri tegak menantang sistem imperialis itu dengan menyodorkan gagasan Indonesia sebagai identitas baru. Menariknya, cendikia Nusantara semacam Hatta, dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengejawantahkan dua jalan ber-Indonesia, yakni melalui perjuangan, dan pilahan.

Bung Hatta adalah anak emas kolonial dari kemurahan ekonomi pemerintah terhadap orang Minangkabau pasca Perang Paderi. Keluarganya merupakan kelas saudagar baru dari booming ekonomi kala itu. Jadi tak heran, pada diri Bung Hatta tersemat harapan keluarga, kelak ia meneruskan jejak sebagai saudagar. Namun harapan itu menjadi maya, karena Bung Hatta telah menemukan lebih dulu jawaban-jawaban ontologisnya sebagai cendikiawan Nusantara. Bung Hatta memilih melawan sistem kolonial, meski untuk itu ia menerima konsekuensi paling pribadi sekalipun; tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka!

Berlainan dengan jalan Sri Sultan HB IX. Seorang raja berdaulat. Punya kekuasaan, kerajaan, dan rakyat sendiri. Tapi Sri Sultan HB IX meninggalkan semuanya, dan memilih menyerahkan segalanya itu pada Nasion Indonesia yang baru.

Sri Sultan HB IX bukan tokoh pergerakan nasional. Ia priyayi yang jauh dari hiruk-pikuk gerakan melawan kolonialisme. Tradisi Jawa menempatkan dirinya sebagai bagian dan pilar keberadan kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda. Keikutsertaannya dalam mendukung eksistensi Nasion Indonesia dengan mengakui Kesultanan Yogyakarta adalah bagian dari negara-bangsa baru ini, merupakan sebuah pilihan berani, dan kerendahan hati dirinya.

Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX menyadari pilihan ber-Indonesianya bukan jalan mulus. Keduanya oase ketika rezim-rezim baru muncul dengan kegarangan melebihi durjananya kolonialisme di era lampau. Sebagaimana laiknya oase yang menawarkan air segar, ia tak pernah membawa banjir yang mengubah tepian nasion. Bung Hatta dan Sri Sultan HB IX dalam kerelaannya membangun nasion ini, berkenan tak mendahulukan ego kala rezim Demokrasi Terpimpin, dan Orde Baru menyimpang dari haluan keindonesiaan, kala dulu mereka pernah letakkan.

Memiliki

Sejarah pada satu posisinya adalah sebuah siklus. Ia bisa berulang dalam hal unsur-unsur pembentuk realitas masa lalunya. Keberulangan sejarah dapat menjadi cermin hari ini, guna menentukan spektrum apa yang akan merentetkan revitalisasi kesadaran ber-Indonesia, terutama pada semua kalangan; tak tersudut fokus pada pemuda yang menjadi pewaris nasion ini.

Indonesia adalah rumah nasion kita bersama. Laiknya sebuah rumah, nasion Indonesia sesungguhnya dapat menerima semua orang yang ingin tinggal di bawah atapnya. Persoalannya ada antara kita masih belum siap tinggal dalam satu naungan rumah nasion itu, tersebab sebagian menganggap mereka memiliki andil lebih mendirikan dan berjuang mendirikannya.

Namun perlu kita sadari, kelompok ini hanyalah bagian marginal dan “minoritas”. Minoritas dalam penghunian rumah nasion Indonesia lain. Sayangnya, ulah “kaum minoritas” tersebut justru meragakan apatistik, dan keredupan rasa memiliki kaum mayoritas penghuni rumah nasion Indonesia lainnya.

Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *