Vereeniging Studiefonds Minangkabau: Kemesraan Minang-Tionghoa Masa Kolonial

Penulis

Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Kato.idVSM, Vereeniging Studiefonds Minangkabau (asosiasi lembaga derma Minangkabau), merupakan paguyupan paling inklusif di Minangkabau pada dekade ketiga abad ke-20. Tidak jamak pada saat itu lembaga-lembaga derma berdiri memasukan unsur etnis lain sebagai pendiri sekaligus pengurusnya. Lembaga-lembaga derma sezaman justru hadir eksklusif sebagai institusi pemberi beasiswa anak negeri melanjutkan studinya. Sementara VSM menjadi ruang temu etnis Tionghoa dengan Minangkabau dalam satu organisasi modern membantu edukasi anak-anak Minangkabau. Keterbukaan VSM menunjukkan tradisi pengakuan dan penghormatan entitas suku bangsa lain sebagai bagian dari Doenia Kemadjoean orang Minangkabau. VSM memberi orang Minangkabau perspektif baru tentang konsepsi dunia modern yang kompleks serta beragam.

Orang Minangkabau pada pre-dunia modern merupakan entitas yang tertutup. Mereka membangun tembok tinggi atas perubahan yang menggubah nagari mereka dari unsur baru. Unsur baru yang perantau bawa dari dunia luar cenderung mereka anggap sebagai hal asing, sampai pengaruh ihwal mutakhir itu membawa kebaikan bersama. Kecondongan eksklusifitas tersebut berubah kala dunia modern melalui ragam kehidupan kota menghampiri mereka pada akhir abad ke-19. Kota-kota berdiri tepat dalam ruang nagari, serta memengaruhi sekitarnya untuk menginklusifkan warganya. Peran pendidikan Barat juga mengubah pandangan orang Minangkabau menilai diri mereka, dan orang lain di luar Alam Mikrokosmosnya.

Pendirian

Pendirian VSM pada 1920 lalu menjadi monumen penting dalam kehidupan modern orang Minangkabau. Esensi kemodernan tak segenap sebuah pengejaran pendidikan Barat semata. Namun kemodernan mereka meluas pada pengakuan terhadap entitas lain.

Etnis Tionghoa merupakan salah satu unsur asing paling penting yang memasuki nagari Minangkabau pada awal era kolonial. Meski telah terdapat catatan jejak-jejak hunian mereka jauh sebelum masa tersebut. Namun masa kolonial etnis ini makin merasuk ke dalam nagari seiring kemunculan kawasan modern baru, seperti Bukittinggi, Padangpanjang, Payakumbuh, dan kota-kota kecil lain di darek. Mereka mengambil peran vital seiring kehidupan modern orang Minangkabau yang mulai terbentuk dalam masyarakat kota.

Orang-orang Tionghoa menawarkan invensi-invensi serta inovasi baru dalam hal pakaian modern, dan gaya hidup mutakhir. Toko-toko etnis ini menawarkan baju jas, celana pantalon, dasi, sepatu kulit, dan fotografi. Mereka juga membangun kongsi bersama orang Minangkabau lain yang berpikiran terbuka. Perkongsian itu melahirkan berbagai perusahaan atau toko bersama, namun terpenting dari itu adalah interaksi inklusifitas di antara mereka.

Penerimaan orang Minangkabau terhadap etnis Tionghoa awalnya bukan hal mudah mereka lakukan. Bagaimanapun orang-orang Minangkabau adalah etnis yang sulit menerima eksistensi lain di nagari mereka. Namun berbagai perubahan tepian selama seratus tahun terakhir menawarkan rasa ketertutupan mereka. Apalagi unsur nilai tradisi seperti rasionalitas mendapat sokongan melalui pendidikan Barat sebagai medium meraih kemajuan. Balawik laweh baalam leba, dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang. Maka itu, meski relatif lama, orang-orang Minangkabau kota akhirnya dapat menerima etnis Tionghoa sebagai sikap orang modern. Sebagai orang modern, maka hal lumrah bila mereka bisa bekerja sama.

Keterbukaan

Tapak inklusifitas kedua etnis ini menguat melalui pendirian VSM di Bukittinggi pada 1920. Persatuan ini berdiri atas kerjasama orang-orang Tionghoa yang ada di Bukittinggi bersama para guru modernis, kaum Adat Modern, serta ulama muda Minangkabau. “Vereeniging ini berdiri sedjak moelai tahoen 1920, dioesahakan oleh pendoedoek Boekit Tinggi, baik Melajoe, baik bangsa Tionghoa.” (Majalah Pandji Pustaka, 1926). VSM menjadi taruhan keterbukaan orang Minangkabau terhadap entitas sosial lain, dan inklusifitas etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat kota yang heterogen.

Kedua etnis dengan gairah yang sama dalam dunia perdagangan ini bekerja keras membangun VSM sebagai paguyuban sosial. Pengurus VSM meliputi Soetan Ma’moer (Pembina), Soetan Saripado (ketua), Bagindo Besar (wakil ketua), dan Lie Goan Ho (sekretaris). Mereka kemudian mengadakan pasar-pasar murah untuk membantu daya beli anak nagari, serta membangun satu sekolah modern.

Daja oepaja jang soedah dioepajakan oleh Bestuur itoe ialah memboeat propaganda ke tiap-tiap negeri dan kampoeng oentoek memperbanjak lid dan memboeat pasar derma tiap-tiap tahoen. Bagaimana hasil djerih pajah Bestuur VSM itoe dapatlah dirasa dan dilihat oleh mereka jang soedah melihat pendirian VSM masa sekarang.”

Sesuai pergerakan zaman kala itu di Minangkabau, VSM menginisasi pendirian sekolah modern. VSM mendirikan sekolah sore mereka. Seiring meningkatnya kebutuhan murid dan prasaran para pengurus, maka VSM memperluas lingkup sekolah mereka. Mereka kemudian menggaji tiga orang guru baru untuk Sekolah Pagi yang baru mereka bentuk itu. Atas masukan dari pejabat kolonial yang mereka dekati, VSM mencari seorang guru Belanda mengepalai sekolah mereka sebagai syarat mendapat subsidi pemerintah. Pada 1925 Sekolah VSM mendapat pengakuan pemerintah dan subsidi.

Sekolah VSM

Pengakuan dan subsidi pemerintah ini makin meningkatkan prestise sekolah VSM yang Scheffer kepalai ini. Dalam waktu relatif singkat, Sekolah VSM mendidik 225 murid. Sekolah ini memiliki dua orang guru berkebangsaan Belanda, dan empat orang Bumiputera. Sekolah VSM juga memiliki tujuh kelas menampung semua muridnya. Kemajuan pesat sekolah VSM tak bisa lepas dari kerja keras para pengurusnya, orang Minangkabau dan Tionghoa. Pada 1925 VSM pun membuka HIS (Hollandsch-Inlandsche School), sekolah Belanda untuk bumiputera, mereka sendiri.

Pada pembukaan HIS tampak ramai para tamu undangan dari berbagai etnis hadir mengikutinya. Terlihat para penghulu-pejabat seperti Datuk Batuah, Datuk Mangkuto Sati, Sampono Kayo, Sutan Baheramsjah. Orang kaya dari kalangan Tionghoa seperti Liem Tjioe Hien, Liem Keng Goean, dan Lie Goan Ho. Sutan Rajo Ameh, Datuk Rajo Ibadat, Sutan Iskandar, dan banyak lagi. Mereka antusias dan yakin bahwa pendirian HIS milik VSM ini dapat menguatkan ikatan sosial antara orang Minangkabau dengan etnis Tionghoa.

“Kalaoe segala sesoeatoe dipikir benar benar-benar maka pergerakan VSM dalam 2 tahoen ini tak lagi berangsoer tetapi tjepat benar madjoenja. Itoe ta’ lain sebabnja karena jang berkehendak kemadjoean itoe, boekan sadja bestuur VMS tetapi semoea anak negeri, penghoeloe-penghoeloe ada seia sekata menjokong pergerakan itoe, oentoek pembalas boedi ‘Alam jang soedah mereka itoe terima.”

Dunia modern nan kompleks serta beragam telah membuka ruang penerimaan orang Minangkabau terhadap etnis Tionghoa. Keduanya dapat bekerja sama tanpa memedulikan batasan SARA yang kolonialisme konstruksi. Kolonial memang berkepentingan membangun konstruksi-konstruksi segmentatif. Tujuan vital dari kebijakan segregatif itu karena tak semata menempatkan pemerintah sebagai pengayom dan penguasa. Tetapi juga memangkalkan perspektif disintegratif antar-warga demi kepentingan otoritas kolonial. Walaupun demikian, VSM mampu mementalkan rencana itu melalui inklusifitas para pengurusnya yang terdiri dari etnis Minangkabau, dan Tionghoa yang ada di Kota Bukittinggi. (Sumber Harian Singgalang Minggu, 30 Januari 2022).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *