Sekolah Ukur Matur (SUMA): Sekolah Pada Zamannya

Kato.id. Sejak tahun 1910an, keinginan masyarakat Minangkabau akan sekolah tinggi tak tertahankan. Meski Sekolah Radja menjadi institusi pendidikan prestise terdapat di Bukittinggi, namun mereka melihat lembaga edukasi ini tak mampu memenuhi hasrat kemadjoean sebagai orang modern. Orang Minangkabau meminta lebih dalam doenia madjoe itu. Mereka telah mengajukan ke Pemerintah Agung di Batavia, agar halnya Jawa. Sumatera Barat bisa memiliki pendidikan tinggi seperti STOVIA dan sejenisnya.

Keinginan tersebut sulit pemerintah kolonial kabulkan. Bagi pemerintah kolonial, Sumatera Barat pada satu sisi adalah beban. Daerah ini tak bisa memberi mereka tambahan pundi-pund cuan lebih banyak. Selain batubara di Sawahlunto, dan semen di Padang, Minangkabau tak memiliki sumber daya alam lain untuk mereka keruk. Sementara infrastruktur pendukung tambang menghabiskan anggaran pemerintah yang tak sedikit. Walau bagaimanapun, kehadiran kolonial Belanda tak sepenuhnya berperan sebagai penguasa yang mensejahterakan warganya. Eeksistensi mereka lebih pada lembaga pengeruk kekayaan Nusantara untuk negeri induk di Eropa. Namun realitas bahwa orang Minangkabau merupakan salah satu warga Hindia-Belanda paling modern kala itu. Tak bisa juga mereka nafikan.

Cerdas

Kecerdasan dapat saja membawa kekacauan bila pemerintah tak dapat mengelolanya secara cerdas. Sejak dekade awal abad ke-20, orang Minangkabau merupakan salah satu kelompok “paling ribut” di Hindia-Belanda. Sekolah-sekolah rendah telah menghasilkan kelompok terdidik. Selain itu tradisi debat di Balai Adat serta Lapau telah membiasakan mereka mengutarakan pikiran secara bebas. Maka dari itu, kala kemampuan olah tulis-baca huruf latin menjadi satu kejamakan. “Keributan intelektual” mereka terkadang memerahkan kuping penguasa kolonial.

Ratusan artikel baru muncul dalam media-media mereka setiap bulannya. Selama satu dekade dengungan akan pendidikan lebih luas bagi anak Minang terus mengerungi telinga para penguasa kolonial. Jengah dengan sindiran, dan terpaan gelombang keinginan agar pemerintah menyediakan pendidikan lanjutan. Depertemen pendidikan mengusahakan kebijakan baru.

Pemerintah kemudian mengusahakan perbaikan pendidikan dasar serta menengah. Mereka menawarkan HIS (Hollandsch Inlandsche School), dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Kedua sekolah ini pemerintah anggap dapat memuaskan rasa haus anak Minangkabau akan pendidikan tinggi pasca Sekolah Nagari yang berdiri lebih banyak dari jumlah nagari sendiri.

Namun segera tampak kedua sekolah itu tak bisa memuaskan dahaga akan ilmu anak-anak muda Minang. Setiap tahun antrian memasuki HIS dan MULO melebihi kelas yang tersedia. Pemerintah pun terpaksa membatasi siswa-siswi yang bisa masuk ke dalam dua lembaga edukasi itu secara ketat. Luar dari itu, orang-orang Minangkabau pun cerdik mengadobsi sistem HIS dan MULO dalam sekolah-sekolah partikelir mereka. Tetapi tetap saja HIS dan MULO bukan jawaban atas konsekuensi mereka sebagai kaum terpelajar. Pemerintah kolonial salah mengartikan gairah literatif orang Minangkabau. Mereka pikir orang Minangkabau sekolah sekedar bisa baca-tulis huruf latin dan bisa berbahasa atau bercakap Belanda atau bahasa asing.

Keluasan bacaan

Keluasan bacaan yang beririsan dengan tradisi debat menjadikan orang Minangkabau lebih kritis. Ketertinggalan yang mereka rasakan bukan lagi soal ketidakmampuan berbahasa asing. Persoalan utama mereka adalah aksesibilitas pada pengetahuan baru, seperti keilmuan terapan, teknik, kedokteran, ekonomi, dan sebagainya. Salah seorang dari mereka Engku Paduko Sati menulis dalam Aboean Goeroe-Goeroe (1928).

Sajang sekali! Makanan jang selazat-lazatnja (sekolah tinggi—penulis) soedah dekat, tetapi orang M.K soesah benar akan dapat mengetjapnja. Dalam hal berpikir (menerima pengadjaran) orang M.K rasanja ta’kan kalah bertanding dengan bangsa apapoen djoega, tetapi tentang oeroesan financiean djaoeh tertjetjer. Soepaja sama terasa asam garamnja bak mengoelai, sekarang sekoerang-koerangnja 5 matjam sekolah tinggi disoeroeh tingat pada pemoeda kita;

“Pertama sekolah hakim tinggi oentoe’ jadi Meester in rechten; kedoea sekolah docter tinggi oentoe’ djadi tabib; ketiga sekolah tinggi oentoe’ djadi Ingenieur; keempat sekolah Militair tinggi oentoe’ djadi Officer dan kelima dikirim ke Mohammedan Universiteit (Al Azhar) di Cairo, oentoe’ mendjadi orang ‘Alim dalam agama jang dipangku oleh orang M.K jaitoe agama Islam. Djika kedjadian seperti tjita-tjita itoe, tentoelah bangsa kita M.K tidak akan tertjetjer benar bahakan bertambah soemarak ‘alam M. Kabau jang molek ini (“Minangkabau dengan Sekolah Tinggi”, Aboean Goeroe-Goeroe, No. 1 Januari 1928).

Meski telah berbuih mulut, dan meluap tinta di kertas menulis harapan akan ada lembaga pendidikan tinggi. Pemerintah bergeming. Satu dekade kemudian pasca Engku Paduko Sati menulis, barulah pemerintah kolonial merestui pendirian sekolah teknik baru. Status sekolah ini mungkin setingkat SMK kini. Pada 11 September 1938 berdirilah Opnemer Tekenaar Instituut Matoer (OPTIMA) atau lazim orang kenal Sekolah Ukur Matur (SUMA).

Juru rekam

Institut ini memberi pengajaran akan perekaman geografis. Banyak para lulusanya kemudian bergabung menjadi juru rekam pada perusahaan tambang kolonial. Atau terjun sebagai pengukur persiapan jalan-jalan yang akan dibangun pemerintah kolonial.

Meski OPTIMA atau SUMA terkesan usaha edukasi pemerintah kolonial. Namun SUMA tak bisa lepas dari kegiatan kaum intelektual Matua yang bergabung dalam organisasi Matoea Saijo. Matoea Saijo merupakan organisasi abuan sekaligus intelektual bagi kemajuan orang Matua. SUMA bagi mereka sebuah usaha memajukan anak muda Matua dalam bidang pendidikan teknik yang saat itu sangat dibutukan masyarakat.

Kewadjiban kita jang mana oedjoednja ialah membangkitkan semangat pemoeda, agar membajar kewadjibannja oentoek diri sendiri oentoek iboe bapak kaoem famili dan oentoek negeri. Bersatoe hati ialah sjarat jang oetama mentjapai tjita2” (Matoe Saijo, 1938).

SUMA berdiri kala pemerintah sedang tapurangah akibat penolakan massif akan Ordonansi Sekolah Liar di Minangkabau. Keinginan pemerintah mengatur dunia pendidikan berbenturan dengan pergerakan kemadjoean orang Minangkabau akan dunia pendidikan modern. Seluruh Minangkabau bergolak menolak ordonansi atau kebijakan tersebut. Bahkan pada satu pertemuan di Bukittinggi ordonansi itu mereka anggap sebagai usaha menjauhkan orang Minangkabau dari agamanya. Namun SUMA pada saat bersamaan, berdiri dengan menggandeng unsur pemerintah serta para guru partikelir. Hal ini tampak waktu pembukaan SUMA di Matua Hilia.

“Pada hari Minggoe 11 September 1938 jl berhimpoenlah beberapa engkoe2 ninik mamak, serta tjerdik pandai, ‘alim oelama dan pemoeda-pemoeda didjalan besar, dimoeka sekolah oekoer…Roemah pergoeroean itoe terseboet letaknja disebelah hilir soeraoe e. Sinaro Soetan ditentang loods bantai Pasar Matoer.”

Pada acara pembukaan hadir kepala negeri Matua, para guru dari Taman Siswa, Muhammadiyah, dan Asisten Demang. Sementara pembukaan pun beriring musik yang dimainkan grup Pemoeda Moehamadijah Matur. SUMA pada akhir masa kolonial relatif berhasil membentuk generasi Matur yang ahli dalam ilmu ukur, sehingga banyak alumninya berperan dalam kegiatan pembangunan pasca kemerdekaan. (Sumber: Harian Singgalang Minggu, 13 Februari 2022).

Penulis
Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

4 thoughts on “Sekolah Ukur Matur (SUMA): Sekolah Pada Zamannya

  1. Sangat bermanfaat tulisan Yudhi Anfoni bagi peminat dan peneliti Sejarah, terima kasihYudhi, semoga selalu berkiprah pada khazanah keilmuwan dan sehat wal’afiat selalu, aamiin

  2. Semoga sejarah ini menjadi motivasi anak2 Matua, sebab kakek kami sebagai penggiat SUMA dulu bisa dikenang. Sekarang semua bumi ini sudah pakai GPS dan Maping Google

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *