Minangkabau Raad: Dewan Perwakilan Penyerap Aspirasi Rang Awak Masa Kolonial

kato.id. Pada 1918, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Van Limburg Stirrum mengucapkan pidato bersejarah. Ia memberi satu janji perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat jajahannya. Satu janji otonomi setiap daerah mengurus wilayahnya masing-masing. Pidato Sang Gubernur Jenderal ini orang ingati sebagai “November Belofte”, Janji November. Sayang hal itu jadi sindiran klasik Minang, titian biaso lapuak nan janji biaso mungkia. Tak ada realisasi atas pidato orang Hindia-Belanda-1 itu. Justru pasca pidato tersebut, negeri-negeri di Hindia-Belanda makin terpuruk.

Pasca PD 1 (1918-1919), daerah-daerah koloni Belanda malah menjadi lumbung cuan seiring peningkatan peran kelas saudagar baru kolonial yang memerlukan lahan investasi. Mereka mendikte berbagai kebijakan pemerintah agar sejalan dengan usaha mereka di Aceh, Sumatera Timur, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, dan hampir seluruh tanah Hindia sampai ke Papua.

Pada periode tersebut berdiri berbagai perusahaan besar yang berperan sebagai penguasa lokal. Mereka seenaknya menguasai tanah-tanah ulayat demi pembukaan perkebunan besar, seperti tembakau, teh, kopi, tebu, dan perusahaan penampung hasil buminya. Hal ini mengingatkan kembali peran eks-VOC sebagai kamar dagang yang berperan politik aktif pada tingkatan terbatas.

Perubahan

Setelah era booming ekonomi selama dua puluh tahun lebih itu. Angin perubahan menerpa dunia. Negeri Belanda khususnya, dan dunia umumnya telah merasakan terpaan angin perang yang kuat. Sementara Hindia-Belanda sebagian besar dalam kegamangan besar; memilih nasion baru (baca: Indonesia) atau tetap tegak bersama Kolonial Belanda yang seakan berdiri kokoh, namun rapuh sampai ke sumsumnya. Pada kondisi itulah Pemerintah mengumumkan akan memperluas lembaga aspirasi rakyat tanah jajahan sampai ke tingkatan bawah. Pemerintah akan membentuk dewan perwakilan berdasarkan administratif.

Pemerintah berencana mendirikan Minangkabau Raad, dewan perwakilan Minangkabau. Mereka tidak mendirikan Sumatra Westkust Raad sebagaimana secara administratif dilakukan di tempat lain. Bila daerah lain dewan mereka merujuk nama administratif, tapi di Ranah Dang Tuanku ini, justru entitas etnisitas yang menjadi label akan dewan perwakilan tersebut.

Sebelum Minangkabau Raad berdiri, A. I. Spits Gubernur Sumatra Westkust berkeliling daerah meminta masukan. Siapa-siapa saja yang akan menjadi utusan sebagai anggota Minangkabau Raad itu? Setelah bertemu dan berdiskusi bersama para penghulu basurek. Akhirnya Pemerintah kemudian memutuskan Minangkabau Raad beranggotakan empat puluh sembilan orang. Komposisi anggota Minangkabau Raad, meliputi 38 orang Bumiputera, sembilan Eropa, dan dua Tionghoa.

Baca jugaIndonesia adalah rumah nasion bersama

Vereeniging Studiefonds Minangkabau: Kemesraan Minang-Tionghoa Masa Kolonial

Tiga puluh delapan anggota dari barisan Bumiputera terdiri atas penghulu sebanyak 22 orang. Sepuluh orang lain golongan non-datuk. Dan 6 orang lain adalah para penjabat seperti Demang. Pemerintah kolonial secara licin menetapkan lima orang keanggotaan Bumiputera, yakni kaum cerdik pandai mereka yang angkat. Secara komposisi, Pemerintah Kolonial memastikan 49 orang anggota Minangkabau Raad, lebih 50% mereka yang menentukan secara langsung. Sementara para penghulu yang menjadi utusan tiap daerah tak bisa dielakkan juga kaki tangan mereka. Hampir semua penghulu utusan Minangkabau Raad merupakan datuk-datuk basurek, atau memiliki ikatan dengan pemerintah. Jadi tanpa rinci pun dapat orang melihat Minangkabau Raad tak ubahnya kepanjangan tangan pemerintah.

Komposisi

Redaksi Matoe Saijo menurunkan daftar nama-nama anggota Minangkabau Raad. Daftar nama-nama itu secara benderang menunjukkan arah keberpihakan mereka, tak lain pada kolonial.

Menoeroet ordonansi jang teroentoek bagi mengatoer sesoeatoe menjangkoet dengan Dewan Minangkabau itoe, adalah terseboet bahwa djoemlah anggota Dewan Minangkabau banjaknja 49 orang, jaitoe 22 wakil penghoeloe, 5 wakil ra’jat oemoem jg dioenjoekkan vereeniggingen, 5 lagi tjerdik pandai jg diangkat sendiri oleh pemerintah, 6 bahagian BB ambtenaar, 9 bangsa Belanda dan 2 bangsa asing. Dibawah ini kami njatakan nama-nama…” (Majalah Matoea Saijo, No 7, Juli 1938).

Para utusan Dewan Minangkabau berdasarkan pemilihan oleh rakya umum, meliputi A Roesma (Fort de Kock), H Sirajuddin Abbas gelar Datuk Bandaharo (Perti), H Mahmud Junus (Direktur Sekolah Normaal Islam, Padang), Ma’amin gelar Datuk Paduko Batuah (Kepala Nagari Tanjuang Barulak), dan Mohd Hussein gelar Datuk Mahkudum (Kepala Nagari Solok).

Sementara utusan kaum cendikia yang pemerintah tetapkan  yakni, pertama, Mhd Taher gelar Marah Sutan (Padang). Kedua, Rasjidin gelar Sutan Tumanggung (Padangpanjang). Ketiga, Abdul Azis gelar Sutan Kenaikan (Direktur Kweekschool Islam Fort de Kock). Keempat, Bachtiar gelar Sutan Pado Penghulu (Tanjung Alam). Kelimanya berdasarkan latar profesinya tampak memiliki relasi yang kuat dengan pejabat kolonial (Bumiputera dan Eropa).

Adapun utusan kaum Tionghoa dalam Dewan Minangkabau yakni Ek Tie Lim (ketua organisasi keluarga di Padang), dan Tjoa Kong Bie (Letnan Cina Payakumbuh). Keberadaan keduanya dalam Dewan Minangkabau merupakan hal unik dan menarik. Tersebut keduanya jelas bukan bagian dari etnis Minang. Sementara segala aspirasi orang-orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya cenderung dapat mereka salurkan pada dewan swapraja (Pemerintah Kota), dimana mereka banyak bermukim. Tapi ternyata pemerintah memasukan mereka sebagai anggota Dewan Minangkabau.

Resmi

Para anggota Dewan Minangkabau atau Minangkabau Raad resmi pemerintah tetapkan pada 1938. Ada dua peristiwa sejarah penting yang meragami perjalanan kiprah Dewan ini sampai Jepang masuk pada awal tahun 1940an. Pertama, pada awal pendirian Dewan Minangkabau. Pemerintah Kolonial berencana mengeluarkan Kota Padang sebagai bagian dari Alam Minangkabau. Namun rencana itu batal karena mendapat penolakan para penghulu di darek. Salah satu kelompok penghulu penentang keinginan itu berasal dari Solok. Mereka keberatan sebab berpegang pepatah lama Minang sejak masa kompeni lalu.

“Aso Solok, Doeo Selajo, tigo Padang, ampek company; Boedi Solok Akal Selajo, Padang bersahabat dengan Company. Makanja kekoeasaan orang Belanda, berkembang dan mendjalar ke Bovenlanden (darek—penulis), hingga sampai sekarang diseloeroeh Sumatra,” (Majalah Oetoesan Minangkabau, 27 Maret 1939).

Kedua, pengajuan Yamin sebagai utusan dari Minangkabau untuk Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta. Yamin kala itu merupakan tokoh paling tidak populer di mata pejabat kolonial di Sumatera Barat. Namun Minangkabau Raad justru mengusulkan nama putra Talawi ini dan berhasil masuk Volksraad. Alhasil Yamin pun dikecam partai nasionalis Gerindo yang menerapkan kebijakan tak akan bekerja sama dengan pemerintah. Meskipun demikian, Yamin bergeming. Ia pun relatif berhasil membawa berbagai aspirasi penting anggota Dewan Minangkabau, seperti dukungan mendirikan Bank Nasional di Bukittinggi, serta Bank Saudagar di Padang. Sayang Dewan Minangkabau tak lagi punya peran strategis lagi seiring telah rinainya Perang Asia Pasifik pada akhir 1941, dan mendaratnya tentara Jepang di Minangkabau. (Sumber: Harian Singgalang Minggu/ 20 Februari 2022).

Penulis
Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *