Berapa saja moesti bajar belasting Toean? Aturan Bayar Pajak Badan Anak Nagari di Minangkabau Masa Kolonial

(Kato.Id/ 19/01/2021). Belasting atau pajak adalah sumber masalah bagi orang Minangkabau. Mereka paham kalau bayar belasting berarti mengakui diri sebagai anak jajahan. Dalam sejarah dan tradisinya orang Minangkabau. Justru orang yang datang yang mesti membayar uang masuk, atau tol ke nagari mereka. Dulu Raffles penguasa Bengkulu datang mengunjungi pusat kekuasaan Minangkabau di Pagaruyung pada abad ke-19 lalu dengan membayar uang tol setiap nagari yang ia masuki.

Jadi perbuatan pemerintah kolonial menerapkan pajak pada awal abad ke-20 merupakan hinaan terhadap otonomi kaum, dan nagari di Ranah Cinduo Mato ini. Dan untuk itu, mereka bersedia berperang!

Perang penegakan harga diri orang Minangkabau paling besar di era modern ialah pada masa 1908. Sejarah mencatatnya dengan nama Perang Pajak atau Belasting. Perang ini memang berpusat di Kamang. Namun gaung dan rentetannya menjalar ke seluruh nadi orang di nagari jauh. Tak ada yang menerima kalau belasting mesti mereka bayar pada kolonial Belanda.

Otonom

Seorang opsir, Ulando Itam, tengah sidak petani gambir.

Orang Minangkabau sejak dulu kala biasa hidup secara otonom. Mereka terbiasa dalam keseharian tanpa kekuasaan absolut terhadap individu, kaum, bahkan tanah ulayat mereka. Kekuasaan Raja Pagaruyung tak lain sebuah norma simbolik. Raja tak berkuasa absolut di Minangkabau. Mereka terbiasa memakai aturan; keponakan beraja ke mamak, mamak beraja ke mufakat. Mufakat beraja ke nan benar. Benar berdiri dengan sendirinya berdasarkan jalan kebenaran, kepatutan, serta kemungkinan.

Kamanakan barajo ka mamak. Mamak barajo ka pangulu. Pangulu barajo ka mufakat. Mufakat barajo ka nan bana. Bana badiri sandirinyo. Bana manuruik alua jo patuik. Manuruik patuik jo mungkin.

Namun semua berubah kala Negara Kolonial Belanda mulai berkuasa. Pemerintah kolonial menunjukkan diri sebagai penguasa baru Alam Minangkabau. Pusat kekuasaan itu tak lagi berada di Pagaruyung, namun Batavia atau Betawi. Ia tak lagi simbolil. Tapi nyata dan memaksa! Meski begitu, ada keraguan memaksa orang Minangkabau menjadi bagian dari warga-negara kolonial.

Tetapi tidak perlu waktu lama. Hakekat penjajah ialah kerakusan. Hendak menguasai tak semata sumber daya alama, tapi juga manusia. Dan penguasaan manusia hanya dapat dilakukan kala mereka mau mengakui diri melalui pembayaran diri sendiri dengan setoran belasting.

Pajak

Maka pada awal 1908, pemerintah kolonial mewajibkan seluruh orang Minangkabau bayar pajak. Pemerintah kolonial telah menghitung. Cacah atau jumlah penduduk Minangkabau yang besar. Bila mereka membayar belasting sekira f 1-f 2 per-orang, maka uang yang masuk ke kas pemerintah bisa ratusan ribu gulden pertahunnya. Dan uang itu dapat mereka nikmati tanpa beban membangun negeri ini sebagai sebuah kewajiban lumrah satu pemerintahan modern.

Belasting diwajibkan akhirnya. Perang pun terjadi. Tapi orang Minangkabau dalam keletihan. Paderi telah menguras energi mereka. Dan mereka pun terkulai nanar. Meski begitu mereka kalah terhormat. Kehormatan sebab telah menunjukkan posisi sebagai orang yang tak mau dijajah, meski zaman berkata lain.

Pemerintah kolonial menyadari meski mereka menang perang. Tapi kondisi berada bak api dalam sekam. Pengalaman mereka pada Perang Aceh, menyurutkan langkah hendak langsung memerintah orang Minangkabau. Merekapun memillih alternatif lain. Berkuasa dengan menggunakan peran para penghulu. Pemerintah mengangkat mereka jadi wali nagari. Pemimpin satu kawasan nagari, dan menjadikan nagari sebuah wilayah administrasi.

Para wali nagari menjadi pejabat birokrasi kolonial. Pemerintah kolonial kemudian membekali mereka dengan institusi pemaksa. Institusi itu meliputi polisi atau marsose. Pengadilan. Jaksa. Dan penjara. Empat institusi itu mengukung orang Minangkabau. Empat institusi pemaksa ini menjadi bayang-bayang para wali nagari memungut uang belasting tiap orang di nagari.

Pemerintah kolonial memerlukan hampir tiga dekade (30 tahun) menundukan orang Minangkabau agar pasrah dan ikhlas membayar belasting. Apatah lagi, kala itu pemerintah memerlukan uang yang banyak karena malaise atau krisis besar melanda dunia. Krisis terbesar mereka jelas terjadi di negeri induk, Belanda. Sehingga adanya kesadaran nagari membayar pajak individu ini seakan sebuah hembusan angin sejuk di tengah geringnya keuangan pemerintah jajahan.

Aturan nagari

Pemerintah kolonial Belanda memaksa nagari-nagari membuat aturan bersama soal besaran bayar belasting individu. Mereka menekan para penghulu mengeluarkan aturan soal belasting ini. Mereka ingin mengesankan, kalau kewajiban belasting menjadi kebijakan tersendiri para pengtua Minangkabau di tiap nagari. Sementara mereka sebagai penguasa cuma menjalankan fungsi penjaga rust en orde (ketertiban dan kedamaian).

Sang Penjaga kekuasaan kolonial.

Kebijakan rust en orde berarti jangan bikin rusuh. Kalau bikin rusuh. Tidak tertib. Terjadi kekacauan. Maka marsose akan datang. Menciduk. Membawa ke pengadilan. Jadi orang hukuman. Hukuman badan. Dan denda besar. Hal-hal yang kemudian menciutkan nyali orang Minangkabau, karena semua itu bersifat individual. Tak ada kaum atau penghulu yang akan melindungi mereka.

Artinya pada kondisi tersebut mereka sendiri. Bila konsekuensi hukuman mereka terima, maka dampaknya pada kehidupan pribadi, keluarga batih, dan malu kaumnya semata. Tak ada yang mau jadi orang hukuman, karena imejnya yang buruk dalam pandangan masyarakat termasuk kaumnya sendiri.

Nagari dan orang Minangkabau pada era 1930an tak ubahnya ayam jago kalah di halaman Rumah Gadangnya sendiri. Mereka tak ubahnya wayang dalam genggaman kolonial, meski jari-jari kekuasaan itu tak nampak secara langsung. Meski begitu, hegemoni dan dominasi kolonial terasa dalam sendi-sendi kehidupan Rumah Gadang, bahkan sampai ke pincuran mandi, serta tungku perapian mereka.

Wajib pajak

Pada 1932 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No 100 tahun 1929 yang mewajibkan pembayaran belasting. Namun dengan bahasa halus dan enak, mereka tegasan kalau keputusan pembayaran pajak mesti mendapat timbangan dari lembaga lokal lebih dulu. Sementara kepala nagari bertugas memberi tahu secara langsung besaran bayarannya ke empunya diri.

Kalau sesoedah diberi nasihat orang jang beroetang belasting itoe tiada djoega membajar belastingnja, maka kerapatan nagari boleh memberi koeasa kepada Kepala Nagari, soepaja Kepala Nagari menangkap dan mendjoeal harta orang jang beroetang itoe menoeroet adat jang dibiasakan dinagari itoe…(Pasal 8) (Majalah Pemimpin Nagari, No 1, Oktober 1932).

Staatsblad No 100 ini kemudian menjadi payung hukum keluarnya berbagai keputusan Kerapatan Nagari. Kerapatan kemudian memutuskan berapa besaran, dan siapa yang tidak perlu membayar belasting kepada pemerintah.

Para marsose sedang santai.

Respon paling cepat berasal dari Kerapatan Sungaibatang. Kepala Nagari beserta kerapatan mengeluarkan aturan No 1 tanggal 14 Desember 1931. Bahwa semua anak nagari, baik di areal nagari maupun yang merantau wajib bayar pajak sebesar f 2 (dua rupiah). Para anggota kerapatan nagari, penghulu, dubalang, datuk kaum, dan orang mati bebas bayar pajak. Jumlah itu kemudian turun menjadi f 1,75. Pungutan dilakukan untuk satu tahun.

Berbeda dengan Nagari Sumpu. Nagari ini selain membebaskan kelompok yang sama dengan Nagari Sungaibatang. Para khatib, malin, imam, bilal, dan kadi nagari dari kewajiban membayar pajak. Para penduduk membayar pajak badan sebanyak f 1. Tetapi mereka bisa mengangsurnya.

Kontribusi

Pada awal 1930an ini, guna mengisi kasnya yang kosong. Semua nagari Minangkabau berkontribusi menggemukkan kembali uang pemerintah pasca Malaise dan Perang Dunia I. Tercatat selain kedua nagari di atas. Kerapatan Nagari Talu, Mandiangin, Malalak, Selayo, Sijunjung, dan seluruh kawasan Luhak nan Tiga, serta rantau pesisir wajib menetapkan besar urang pajak badan.

Paling menarik dari usaha pelaksanaan belasting ini adalah kata-kata yang mereka pakai. Pemerintah kolonial dan birokratnya menggunakan istilah keboelatan Kerapatan Nagari atas penerapan pajak. Artinya kebulatan itu tak bisa lagi digugah orang awam, karena telah menjadi mufakaik dan sakato alam.

Maka dari itu, bila Jawa memberi kontribusi pada mekarnya pundi-pundi gulden pemerintah kolonial melalui Sistem Tanah Paksa. Orang Minangkabau mengggemukan celengan kolonial melalui pajak badan yang mereka bayar dengan rasa takut. Wallahu’alam.

Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *