Krisis Penghulu Di Negeri Adat: Rang Matur Pada 1920

Penghulu bagi masyarakat Minangkabau merupakan sebuah institusi. Lembaga yang tak merujuk pada satu individu atau sekelompok orang semata. Pada penghulu berakumulasi pengetahuan, norma, dan nilai yang merangkum konsepsi Alam serta Tradisi Minangkabau. Mereka adalah pewaris kearifan masa lalu. Krisis penghulu satu nagari di Minangkabau berarti lubang dalam entitas dan keberlangsungan adat serta tradisi keminangkabauan. Kegentingan eksistensi penghulu ini melanda Nagari Matur, negeri adat di tahun 1920. Apa yang terjadi?

Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Kato.id (15/01/2021). Kaum ulama dan penghulu Minangkabau masa kolonial merupakan dua pondamen sosiologis penting. Keduanya memainkan peran saling sandar-menyandar. Mereka memberikan pegangan dua nilai yang sangat menentukan orientasi orang Minangkabau masa itu. Orientasi yang mulai lunggah tersebab gerusan nilai-nilai Barat melalui kolonialisme.

Namun seiring menguatnya gerakan modernisme Islam melalui pergerakan Muhammadiyah, serta sekolah-sekolah Islam partikelir. Para ulama yang berasosiasi pada gerakan pembaruan modernisme, melaju dengan cepat sebagai pegangan utama masyarakat. Pengaruh mereka sangat urgen kala berhadapan pada kuatnya desakan pem-Barat-an melalui pendidikan modernnya. Sementara para penghulu pun ketirisan. Penghulu ada karena ia lahir secara zahir. Warisan. Ulama muda terus muncul dalam masyarakat. Sedangkan penghulu baru dengan pandangan luwes sesuai tuntutan zaman berada pada status: LANGKA!

Pertemuan para penghulu pada 1910. Fotografer Demmeni, J. (1866-1939).

Rerata

Kondisi ini relatif rerata terjadi di Minangkabau. Salah satu negeri yang mengalami krisis kehabisan penghulu adalah Nagari Matur. Degenerasi penghulu negeri ini menjadi perhatian penting Pelita Matoer. Majalah awal Rang Matoer yang terbit pada 1916. Lebih dulu ketimbang Matoea Saijo.

Pelita Matoer merupakan organ majalah Syarikat Matoer. Terbit dua kali sebulan. Moto majalah ini “Soewara oentoek Kemadjoewan District Matoer”. Mereka yang mengelola secara langsung majalah dan syarikat ini. Mereka antaranya St Rajo Endah. St Maruhum. Datuk Mangkuto Alam Nan Putih. R gelar Rajo Bagindo. Abdul Hamid. M gelar Sutan Tumanggung. I gelar Sutan Maharaja Diraja. Dan banyak lagi.

Pada artikel Pelita Matoer Nomor 8 tanggal 15 September 1920, redaktur menurukan satu kondisi yang miris dalam masyarakat Matur. Majalah ini prihatin dengan kurangnya jumlah penghulu. Jumlahnya yang dulu puluha, sekarang tinggal satuan saja, tulis Pelita Matoer.

Menilik keadaan penghoeloe di Matoer makin lama makin bertambah-tambah djoega koerangnja. Ninik mamak jang selama ini berbilang poeloehannja sekarang soedah menjadi berbilang satoean sadja. Disebabkan apakah itoe?

Gadai

Salah satu cara agar penghulu tetap ada menurut Pelita Matoer adalah menggadai harta pusaka. Gadai tanah dan sawah kaum Rang Matoer dapat saja menjadi solusi karena keberadaan mereka sangatlah vital.

Menoeroet sepanjang jang toeroen temoeroen dari nenek Ketoemanggoengan dan Dt. Perpatih nan Sebatang harta poesaka tidak boleh digadaikan, melainkan mengandoeng 4 sarat; 1. Majat ta’ berkoeboer karena ta’ ada belandja. 2. Anak Gadis gedang ta’ bersoewami. 3. Mendirikan roemah tangga tempat mendirikan adat. 4. Mendirikan gedang penghoeloe.

Usaha menggadaikan harta pusaka sebagaimana tuntunan adat bukan perkarang gampang di Minangkabau. Penggadaian itu memerlukan mufakaik kaum. Tanpa ada kesepakatan mereka, baik lelaki ataupun Bundo-Kanduang, jangan harap gadai-menggadai akan terjadi, kecuali akan berkancah darah nantinya. Hal ini telah sering terjadi dalam masyarakat Minangkabau.

Apatah lagi bila gadai itu cuma menurutkan kehendak satu atau dua orang ninik-mamak saja. Alhasil bisa ricuh keluarga besar mereka sampai beberapa keturunan. Maka dari itu, satu kaum kala mau menggadai harta pusaka tinggi mereka terlebih dulu mengadakan musyawarah. Tetapi tentu perapatan yang menghasilkan mufakat, bukan suara banyak. Bulat nan indak basagi. Kok bulek lah dapek bagolongkan, Kok picak lah dapek kadilayangan.

Syarat

Penghulu adat Matur pada era 1920 itu menurut Pelita Matur bukan tak ada yang akan mengganti bagi yang telah wafat. Ada. Bahkan mereka telah sesuai aturan kelarasan adat masing-masing (Bodi-Chaniago atau Koto-Piling). Sudah bisa berlewakan ke kaum dan nagari.

Oleh karena menoeroet sepandjang adat penghoeloe, barang siapa jang djadi penghoeloe ijalah mendjamoe negeri, memotong kerbaoe memberi makan orang negeri (beralat).

Selain itu, kepada calon penghulu berbeban kepada mereka membayar uang sekisar f 150. Kalau kita rupiahkan sekarang menjadi sekitar 15 juta-an. Uang itu mereka setor ke nagari. Sungguh besar biaya yang para calon penghulu tanggung kala itu. Inilah penyebab utama krisis penghulu di Matur.

Dampak terbesar ketiadaan penghulu sangat terasa oleh masyarakat Matur. Tanpa penghulu, maka pembangunan menjadi sendat, serta tak dapat berjalan baik. Terutama mereka rasakan kala perlunya pendapat dan kata putus para datuk mereka. Sering menurut Pelita Matur, rapat ninik-mamak tak mencapai kata mufakaik, karena yang hadir cuma para panungkek (penungkat) saja atau wakil penghulu.

Tiap-tiap negeri di Matoer banjak penghoeloe jang terbenan, jang beloem berganti, tjoema didjalankan penoengkat saja. Rapat ninik mamak di Matoer…kebanjakan kepoetoesan kerapatan itoe ta’dapat penoengkat (wakil) jang tiada boleh memberi pertimbangan sepandjang adat. Penoengkat jang tiada boleh memberi pertimbangan sepandjang adat ijalah jang mewakili parentah rodi saja.

Ubah syarat

Syarikat Matoer kemudian mengusulkan agar cara pemilihan penghulu adat seperti itu berubah. Mereka menilai aturan seperti itu justru merugikan banyak negeri dalam kenagarian Matur tersebut. Mereka mengusulkan uang pembayar ke nagari diperkecil. Cukup f 30 saja atau kurang dari satu juta rupiah, bila kita nilai sekarang. Sementara aturan soal mereka mesti baralek guna melewakan Sang Datuk, cukup sidang nagari saja yang menghimbaukan ke masyarakat, agar khalayak tahu kalau Si A sudah menjadi penghulu adat. Namun bila si calon penghulu adat mampu secara finansial. Mereka dapat menuang lembaga sesuai ketentuan lama.

Alah djoeo ba’ pepatah ninik mamak, “Doedoek bersama-sama berlapang-lapang, doedoek seorang bersampit-sampit.” Djadi sepanjang pikiran hamba, sekiranya banjak perbaoelan tentoelah banjak poela pikiran jang dapat. Sehingga inilah rasanja boleh hamba kepada enkoe-enkoe Kepala Negeri mentjoba merapatkan dengan ninik-mamak di Matoer ini. Demikianlah harapan hamba kalau salah harap dimaafkan.

Pelita Matoer merupakan media para kaum cendikia baru yang besar dalam rasionalitas kemodernan. Mereka tak sungkan dan berat mengubah atau menggubah tradisi. Bila mereka anggap tradisi itu menghambat kemajuan mereka. Tapi sayang. Kita tak tahu seperti apa respon para kepala negeri yang berhimpun dalam Nagari Matur. Media ini berhenti terbit. Tapi hari ini masyarakat Matur bisa menilai apakah saran para cendikia mereka masa dulu itu berhasil dengan gagasan mereka? Wallahu’alam.

Sumber gambar:  Koleksi TROPENMUSEUM 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *