Kejengahan Datuk Minang: Mainang Perkoempoelan Minangkabau Pada 1920an

Sumatera Barat periode 1910-1940 tengah ramai oleh pergerakan menjadi orang modern. Orang-orang Minangkabau sangat percaya pendidikan Barat satu-satunya jalan memperbaiki taraf hidup mereka. Alam kemodernan masa itu tak mengukuhkan sistem “dunia lama” atau tradisi. Edaran zaman kemadjoean telah membuka berbagai kesempatan proses mobilitas orang tanpa membawa embel diri sebagai bagian dari keluarga penghulu, atau penguasa lokal, seperti laras, demang, wali nagari dan seterusnya.

Penulis
Yudhi Andoni Sejarawan Universitas Andalas

Anak-anak petani, saudagar, atau orang biasa dalam hirarki sosiologis adat, memiliki kesempatan mengubah nasib mereka. Mereka barangkali tidak mendapatkan sistem pendidikan modern yang baik. Namun tumbuhnya sekolah-sekolah partikelir, atau sekedar lembaga kursus tulis-baca latin, dan bahasa asing, justru menjadi alternatif mereka menikmati “kue modernitas” kala itu.

Dampak paling besar dan kuat atas kehidupan modernitas adalah pada desakralisasi adat Minangkabau. Adat tak lagi menjadi penting pengatur kehidupan sosial, dan popular mereka. Pada titik nadir, tradisi Rumah Gadang membuat mereka jengah sebagai orang kolot. Bodoh. Usang. Kuno. Tua. Maka dari itu, salah satu ketakutan para Kaum Adat pada dunia modern ialah larinya orang Minangkabau dari lelurinya. Padahal menurut mereka, adat itu “nan elok boelih dipakai, nan boeroek boelih dibuang,” manifesto seorang penghulu pada pertengahan 1920an.

Takrif

Pacuan kuda di Bukittinggi sekitar 1908. Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:767852

Takrif adat modern bermula dari persyarikatan datuk-datuk terpelajar yang berkumpul saban Sabtu di Bukittinggi. Mereka mengunjungi kota ini dalam rangka berembuk, serta memperkajikan adat dalam upayanya memberi dasar baru bagi kehidupan orang Minangkabau saat itu. Kelompok ini secara rutin menggali nilai-nilai yang mereka percayai sebagai adat yang tak lakang dek paneh, tak lapuak dek ujan, namun mempraktikkan kembali sesuai zaman kala itu jadi tak mudah diterima.

…tantangan adat lembago itoe, tidaklah samo didoenia ko. Asiang loeboek lain ikannjo. Beda padang lain bilalangnjo. Asing oerang lain adatnjo.” (Berita Minangkabau, No 1, 1926).

Orang Minangkabau saat itu dalam dunia nilai baru yang asing, sebut kerapatan datuk-datuk tersebut. Meski begitu, gairah mereka atas yang baru nan elusif itu, menepikan baju tradisi yang selama ini membungkus mereka. Bila kondisi tersebut terjadi pembiaran, dan para penghulu seperti mereka tak bergerak menata kembali pedoman hidup orang Minangkabau. Maka justru yang asing itu akan menjadi kebiasaan, dan yang adat istiadat akan punah, serta orang anggap purba. Absurd. Aneh. Eksentrik.

Pendirian PM

“Oleh karana maingat akan adat istiadat kita itoe sekarang soedah banjak jang telah mendjadi lamah dan mamikirkan kebaikannja jang tak dapat dihinggakan itoe, teringatlah oleh beberapa angkoe-angkoe djaoehari tjerdik pandai jang tinggal di Kota  Boekit Tinggi, serta dari beberapa nagari jang hampir dari Kota Boekit Tinggi, hendak berkoempoel-koempoel memperkadjikan adat Minangkabau ini, oentoek mempaladjari adat itoe dan mentjahari satoe-satoe maksudnja jang benar”.

Sang Pengtua Perkoempoelan Minangkabau. Datoek Sanggoeno Diradjo

Pada tanggal 2 Maret 1926 para datuk-datuk pembaru itu mendeklarasikan berdirinya Perkoempoelan Minangkabau (PM). PM bertujuan merangkul para penghulu berpikiran maju, dan memformulasikan konsepsi adat baru mereka. Tujuan akhir perkumpulan ini ingin mengodefikasi rasam lama itu menjadi adat modern. Semboyan PM adalah orang Minangkabau mutakhir memerlukan adat modern. Tapi modern berbasis telatah ajaran Datuk Katemanggungan, dan Datuk Parpatih nan Sabatang.

PM aktif mengundang para kepala negeri yang berada di kisaran tepi Kota Bukittinggi. Selain itu, para pengurusnya juga sering mengajak para pejabat bumiputera lain guna mendapatkan legitimasi kuat atas gerakan pembaruan adat mereka. Para pejabat kolonial yang sering mengunjungi pengajian adat PM, antaranya demang Kota Bukittinggi kala itu, Datuk Mangkuto Sati. Anggota aktif PM sekitar 16 orang penghulu, plus seorang ulama lokal.

Aturan PM mewajibkan anggotanya beriyur sebesar f 1,5 perbulan sebagai modal berkegiatan. PM beranggotakan para penghulu utama nagari. Mereka antaranya Datuk Indo Balabih dari Pahambatan, Engku Kadi dari Ladanglawas, Datuk Simarajo dari Matur, Datuk Bagindo dari Kototinggi Baso, Datuk Pamuncak dari Padangluar, Datuk Bagindo Sati dari IV Angkek, Datuk Penghulu dari Mandiangin, Sutan Sulaiman dari Batusangkar, dan lain-lain. Merekalah inilah penggerak utama PM selain ketua yang dijabat Datuk Sangguno Dirajo, penghulu dari Sungayang.

Gagasan

PM sebagaimana persyarikatan modernis lain mendirikan majalah mereka sendiri. Mereka menamakan Berito Minangkabau. Majalah ini terbit pertama kali pada bulan April 1926. Berita Minangkabau memuat catatan diskusi tentang adat, tanya-jawab tentang tradisi Minangkabau, dan informasi tentang pengangkatan penghulu lain kala itu. Berito Minangkabau terbit sampai 10 edisi.

Ada tiga poin penting gagasan adat modern Minangkabau menurut PM. Pertama, berkaitan dengan konsepsi Adat Minangkabau? Kedua, tentang siapa penanggung jawab atas adat modern di masa kini? Ketiga, apa yang menjadi sendi dari adat modern untuk orang Minangkabau mutakhir itu? Ketiga anasir tersebut menjadi materi diskusi tiap Sabtu malam di Bukittinggi.

…kini ado sakete’ nan akan hambo tanjokan kepada angkoe2 nan rape’ jaitoe, Adokah nan dinamokan Adat M.Kabau? dari mano asal moelonjo datang adat-adat itoe? Dan siapo jang memperboeatnjo, dan beberapo banjaknyo bagi-bagi adat itoe? Djawab angkoe Soetan Maradjo nan banamo adat itu ijalah kebiasaan. Kato Toankoe Datoek Batoeah nan bernamo adat itoe ialah kebenaran…Kato Datoek Indo Balabih, nan dinamokan adat itoe ialah segala menoedjoe aloer jo patuik.”

Salah satu kawasan Danau Singkarak masa kolonial.

Apakah adat bersendi agama atau pada apa? Pertanyaan dan diskusi masalah ini menjadi salah satu isu hangat dalam PM. “Kato setangah oerang sjarak bersandi adat dan kato setengah poelo adat nan bersendi sjarak. Manokah nan betoel didalam kato nan doeo itoe?,” tanya Datuk Indo Balabih pada sidang adat.

Alua jo patuik

Hal ini Datuk Sanggoeno Diradjo langsung menjelaskan. Bahwa “Adat bersendi kepada aloer, nan dinamokan aloer itoe ijolah nan loeroes dan benar dan sjarak itoe bersendi kapado dalil, djadi antaro adat dan sjarak itoe tiadalah sendi menjendi. Soedah itoe kerapatan semoepakat membenarkan bahaso adat bersendi aloer dan sjarak bersendi dalil, kedoeonjo berlain-lain, tapi tetapi maksoednjo samo menoedjoe kebaikan,” (BM, 11 Mei 1926).

Modernitas para datuk dalam PM merupakan respon cepat dan cerdas mereka terhadap edaran zaman baru. Tanpa itu keseimbangan tiga nilai yang hidup dalam masyarakat Minangkabau, terutama kaum urban, sulit mencapai titik tetapnya. Gagasan mereka dapat menjawab dalih nilai-nilai modernisme Islam dan Barat yang saban menggerusi entitas Adat Minangkabau. PM relatif berhasil menawarkan bidasan Adat Minangkabau modern sebagai baju kaum urban yang belum bisa menerima modernitas Islam Haji Rasul cs. Meski untuk bisa menerima pembaruan PM, mereka mesti juga bertimbang pada konsepsi lama lain, seperti adat nan salingkar duo datuk lama.

Sumber: Harian Singgalang Minggu, 23 Januari 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *