Sumpah Sati Rang Saisuak: Sawah Pasumpahan di Jorong Kuok III Koto, Nagari Matua Mudiak

KITLV_A93_-_Sawah_en_bergen_aan_het_Meer_van_Manindjau,_KITLV_82524

Kala dunia ini masih bertuah. Orang-orang yang menghuninya pun banyak nanti sati atau sakti. Kandak buliah pintak ka balaku. Maka itu, para tetua negeri sangat orang hormati, karena merekalah orang bertuah nan sati di nagari. Jika telah membilang dari mereka, batanamkan segala kutuk dan mudarat. Alamat pendosa mendapat ganjaran. Tak nan zahir di dunie. Di akhirat mantun jua.

YOLA Penulis Muda

Kato.id (12/1/21). Hai teman-teman semua. Saya kali ini hendak berkisah tentang salah satu sejarah di Jorong kami. Yakni sejarah Sawah Pasumpahan. Sawah ini merupakan pasumpahan para ninik-moyang kami di Jorong Kuok III Koto dalam mencarikan jalan damai dari pertengkaran zaman itu.

Mau tahu ceritanya? Yuk, lanjut membacanya.

Kami berkehidupan di Jorong Kuok III Koto sangat bergantung pada alam. Bagi kami tanah, air, dan sawah adalah sumber kehidupan. Tanpa ketiganya kami akan kalimpasiangan menafkahi diri.

Gestur bumi kami yang berada di lereng gunung purba Sitinjau yang sekarang jadi area perbukitan Kelok 44, membuat lahan atau sawah jadi terbatas. Sebagaimana lahan-lahan di lereng perbukitan, tanah yang bisa digarap berada pada sisi kemiringan, dan sedikit tempat datarnya. Dataran untuk pertanian bak kuciang jo mancit, kejar mengejar, dengan keperluan mendirikan rumah hunian.

Jadi bila ada satu lahan yang relatif datar ditemukan kala tanah di Jorong kami dibuka. Maka para peneruka kami pun berebut lahan itu. Dan itulah yang terjadi pada tanah pasumpahan masa itu.

Sawah pasumpahan

Tanah ini terletak berantara dua sawah yang berbeda nenek moyang. Maklumlah kala itu belum ada program sertifiktasi tanah. Jadi tanah pasumpahan ini pun tak ada yang bisa klaim milik siapa.

Konon pada masa itu, adalah dua orang yang berebut tanah datar yang kecil itu. Kata Si A dia punya. Si B pun membilang dia pula pemiliknya. Tak ada mau mengalah dan mengakui siapa penemu awalnya. Perseteruan itu tampaknya sudah sampai pada puncak keributannya. Siteru itu membuat para ninik mamak Jorong Kuok III Koto akhirnya bermusyawarah menentukan keberadaan tanah ini.

Putus runding kalau tanah itu dipasumpahi. Tanah itu menjadi milik nagari. Tak ada satu orangpun boleh menggarapnya tanpa izin nagari. Bagi yang melanggar akan menerima akibatnya.

Sebagaimana sumpah-sumpah sati nenek-moyang dahulu. Maka ditanamkan sesuatu yang sakti di dalamnya. Entah apa yang ditanam. Bisa jadi keris bertuah. Kayu rimbo Si Bunian. Batu cicin Nabi Sulaiman. Atau sebagainya. Selain sumpah, hal lain yang ditancapkan para nenek-moyang adalah nasehat yang tak boleh dilanggar.

Musim berkisah

Jadi begitulah. Alam berjalan. Tahun berlalu. Musim pun berkisah. Adalah satu waktu para tetua nagari hendak berternak ikan di Sawah Pasumpahan itu. Mereka pun segera menebar bibit ikan. Namun setelah sekian lama. Tak ada ikan yang bisa hidup di tabek atau kolam Sawah Pasumpahan itu. Mati semua!

Satu kali, masyarakatpun hendak pula membangun Puskesmas pada lahan Sawah Pasumpahan tersebut. Siapa tahu berdirinya Puskesmas untuk kebutuhan orang banyak. Sawah Pasumpahan bisa bermanfaat juga. Orang-orang telah pula diminta mewakafkan tanahnya barang 1 meter sebagai jalan menuju Puskesmas itu nanti. Telah pula mereka mengizinkan.

Tapi sampai hari ini. Rencana pembangunan itu tak kunjung terealisasi juga. Bukan soal ketiadaan dana. Tidak. Entah kenapa? Hambar saja hati orang melanjutkan rencana itu.

Bagi tetua kami yang arif di Jorong, telah paham mereka soal ini. Barangkali ada sesuatu yang lupa mengerjakan syarat dan rukun memanfaatkan Sawah Pasumpahan seperti yang dulu telah Sang Tetua lama Jorong kami tetapkan. Menurut teman-teman, apa ya yang terlupa dengan Sumpah Sati Sawah Pasumpahan itu ya?

Oke sahabat semua. Sampai di sini dulu ya cerita saya. Jangan lupa nantikan lagi tulisan-tulisan saya yang lain tentang sejarah jorong kami. Jorong kami yang asri, memiliki banyak bentangan keindahan alamnya. Terima kasih. (Editor. Novi Yulia, M.Hum).

Sumber foto utama: KITLV_A93; Sawah_en_bergen_aan_het_Meer_van_Manindjau,_KITLV_82524.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *