Para Pewaris Mamak: Apa dan Siapa Kemenakan di Minangkabau?

kato.id. Birik-birik tabang ka sasak, tibo di sasak makan padi. Dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ka kami. Ramo-ramo sikumbang jati, Chatib Endah pulang bakudo. Patah tumbuah hilang baganti, urang manyaruangkan pusakonyo.

Kasiak lah manganduang perak, Tanah Merah manganduang intan, samo digali kaduonyo. Dari ninik turun ka mamak, mamak turun ka kamanakan, warih nan sajak dahulunyo.

Urang awak sedang bersiap aduan burung (1930an)

Telah terbaca oleh kami. Karangan Datuk Mangkuto Basa dalam Majalah Berita Adat, No 2, Tahun 1935. Judul karangan beliau ialah, “Tjoerai Paparan orang toea-toea Alam Minangkabau”. Pada Pasal II tentang ahli waris, dan pasal III tentang macam kemenakan. Maka seperti Datuk Mangkuto Basa tulis kami kutipkan dengan tambahan seperlunya.

Fatsal II tentangan dari hal waris

“Menoeroet adat waris itoe adalah 4 matjamnya. 1. Waris bertali darah. 2. Waris bertali boedi. 3. Waris bertali adat sadja. 4. Waris bertali emas.”

Adapun penjelasan menurut Engku Datuk Mangkuto Basa. “Waris bertali darah jaitoe jang berasal dari satoe ninik jang toea sekali.” Sementara, “artinja bertali boedi, jaitoe kalau mati penghoeloe itoe kemenakan bertali boedi itoelah jang manjaloek poesaka gelar dan lain-lainnja. Bertali boedi juga berarti dapat de’ boedi nan baik ataoe de’ boedi nan marangkak.”

Sedangkan bertali adat maknanya, “jaitoe satoe soekoe sadja. Poesakanja tidaklah dapat oleh waris jang seperti itoe. Kata orang inilah poetoes nan akan meoelas, nan dikata bersedjari bersitampok”. Adapun bertali emas artinya, “Boedak jang dibeli zaman dahoeloenja, kalau habis dan poepoes pertalian penghoeloe itoe, boleh mendapat poesaka ninik mamak atas timbangan adat negeri itoe”. Namun, “tidak ada adat Minangkabau meizinkan waris mesti toeroen kepada orang jang tak sedarah, tak seadat, dan tak bertali adat.”

Fatsal III Kemenakan itoe 3 matjam

Pertama, kemenakan sepanjang adat. Kedua, kemenakan menurut adat. Ketiga, kemenakan nan diadatkan.

Orang Kotogadang. Sumber: http://hdl.handle.net/1887.1/item:893854

Maka atas pasal tiga itu, Datuk Mangkuto Basa menguraikan sebagai berikut. Bahwa, “kemenakan sepandjang adat, jaitoe kemenakan bertali darah. Itoelah kemenakan menerima poesaka dari mamaknja.”

Sedangkan menurut Datuk Mangkuto Basa. Ia urai kalau kemenakan menurut adat, “jaitoe kemenakan dalam (satu) kampoeng. Tidaklah boleh menerima poesaka mamaknja, menoeroet adat.”

Adapun yang ketiga, kemenakan nan diadatkan. Menurut Datuk Mangkuto Basa. Mereka itu, “kemenakan panggil-panggilan sadja. Tidak boleh menerima poesaka dari mamaknya (yang biasa memanggil orang muda dengan sebutan nakan) itoe.

Hari ini pada satu nagari atau kampung, kita sering mendengar panggilan mamak ke semua lelaki dewasa oleh anak mudanya. Sementara sebaliknya sapaan kemenakan pun keluar dari mulut mereka. Kemenakan inilah yang Datuk Mangkuto Basa maksud pada macam ketiga dari uraiannya. Jadi pada mereka tak ada hubungan waris-mewariskan pusaka adat ke masing-masing pihak. Wallahu’alam. (kt.id/ya).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *