Kesantunan Berbahasa : Menangkal Ujaran Kebencian

https://www.pexels.com/id-id/pencarian/santun/

Oleh:
Ahda Rindang Al-Amin, Ahmad Fajri Arrizki, Oktavia Ramadani, Reynard Ghazy Tsaqif, Reza Septian dan Surya Andika

Bahasa merupakan suatu hal yang digunakan sebagai media untuk berkomunikasi antar sesama makhluk hidup. Manusia dapat saling memahami dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa, karena itulah berbahasa sangat penting dalam kehidupan ini. Bahasa juga termasuk ke dalam unsur kebudayaan yang membuat terciptanya ragam bahasa.

Namun, dalam menggunakan bahasa ada yang namanya kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tidak dapat dilihat dari satu sisi saja, karena kesantunan berbahasa ini mencakup banyak perspektif yang perlu diperhatikan.

Salah satu perspektif yang perlu diperhatikan adalah kesantunan berbahasa dari persepektif agama. Hal ini karena kesantunan berbahasa sendiri disebutkan dalam beberapa ayat di dalam al-qur’an, seperti  ayat Q.S. An-Nisa ayat 9 yang menjelaskan Qawlan Sadīdā yaitu berbicara dengan perkataan yang benar, Q.S. Al Imran ayat 159 yang menjelaskan  Qawlan Layyinā yang artinya perkataan yang lemah lembut, dan Q.S. al-Isra ayat 23 yang menjelaskan Qawlan Karīmā yang artinya perkataan penuh kasih sayang. Dengan demikian, dalam perspektif agama, kita diingatkan untuk selalu menjaga kebenaran dalam perkataan, menggunakan bahasa yang lemah lembut dan sopan, serta berkata penuh kasih sayang.

Ketiga hal ini dapat kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketika sedang berbicara dengan orang tua, janganlah berbohong demi menyembunyikan sesuatu, dan dalam berkata janganlah membentak namun gunakan bahasa yang lemah lembut. Contoh lainnya dalam kehidupan sehari-hari adalah saat sedang dalam keadaan marah, kita harus tetap menggunakan bahasa sopan jangan sampai emosi dalam diri kita meledak dan mengakibatkan kita mengeluarkan bahasa yang tidak seharusnya dikeluarkan.

Selain dari perpspektif agama, kita akan melihat dari perspektif lain yaitu perspektif kewarganegaraan. Kesantunan berbahasa menurut perspektif kewarganegaraan bermakna bagaimana kita berbahasa sesuai dengan norma dan aturan negara yang kita tinggali. Bagaimana kita berbahasa akan mencerminkan seperti apa bangsa kita di mata orang luar. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kesantunan berbahasa dapat menjadi identitas nasional suatu negara.

Foto Jopwell/Pexels.

Namun,  walaupun bahasa dapat menjadi identitas nasional, masyarakat Indonesia masih saja seakan tidak peduli. Masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing yang tidak bermakna sama sema sekali daripada menggunakan bahasa Indonesia. Di media sosial pun masyarakat kita sudah seperti masyarakat yang tidak terdidik. Banyak ditemukan kata-kata kasar yang tidak seharusnya diperlihatkan kepada orang luar. Untuk menghadapi hal tersebut, suatu perubahan diperlukan. Perubahan tersebut dimulai dari diri kita sendiri. Masyarakat Indonesia harus dapat menjaga kesantunan berbahasa dengan berbicara santun, baik saat pertemuan langsung ataupun ketika menggunakan media sosial.

Setelah dua perspektif tadi, masih ada perspektif lain yaitu kesantunan berbahasa dari perspektif pancasila. Pancasila yang dimaksu adalah sila ke-2. Sila ke-2 ini menjelaskan bahwa manusia harus menjaga adabnya dalam berbicara dengan orang lain.

Setiap manusia yang selalu menjunjung tinggi norma-norma serta budaya yang berlaku di masyarakat akan senantiasa memperhatikan etika dalam berbahasa, karena pada dasarnya norma dan budaya diciptakan agar manusia lebih beradab. Norma di setiap daerah pun beragam, seperti di daerah minang yang disebut dengan “kato nan ampek”. Contohnya ketika kita berbicara pada teman sebaya, pasti akan berbeda juga cara kita berbicara dengan orang yang lebih tua. Karena itu, adab berbicara harus selalu diperhatikan disetiap waktu, karena setiap manusia pasti ingin mendengar lawan bicaranya berbicara dengan bahasa yang beradab.

Selain dari perspektif di atas, masih ada lagi satu perspektif lain yang dimana perspektif ini melihat kesantunan berbahasa dari segi pragmatik. Kesantunan berbahasa menurut perspektif pragmatik sendiri adalah bagaimana cara agar kita dapat membuat lawan bicara kita merasa senang saat kita berbicara dengannya.

Kesantunan berbahasa dalam pragmatik ini diatur oleh aturan yang bernama “maksim”. Terdapat 10 macam maksim yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, Maksim kerendahanhatian, maksim kesetujuan,  Maksim simpati, Maksim permintaan maaf, maksim penerimaan, maksim perasaan, dan maksim berpendapat. Setiap maksim memiliki fungsinya sendiri dan penting untuk dikuasai, karena maksim inilah yang menjadi panduan kita bagaimana cara berbicara kepada orang lain dalam kehidupan sehari-hari.

Misalkan kita melakukan suatu kesalahan, maka kata pertama yang keluar dari mulut kita adalah maaf. Maka dari itu kesantunan berbahasa harus dikuasai dengan baik, agar saat berbicara dengan siapapun dan kapanpun itu kita dapat membalas perkataannya dengan santun sehingga membuat lawan bicara merasa senang berbicara dengan kita.

Setelah melihat dari berbagai perspektif tadi, dapat disimpulkan bahwa kesantunan berbahasa memiliki makna bagaimana kita berbahasa dengan santun dan sesuai norma yang ada sehingga lawan bicara kita nanti tidak merasa terganggu saat kita berbicara dengannya. Kesantunan berbahasa ini harus diterapkan di setiap waktu dan dimana pun itu karena kita pasti akan berbicara dengan orang lain saat kita masih hidup di dunia ini. (Penulis adalah mahasiswa MWK Universitas Andalas)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *