Fitri: Kampuang Nan Batuah Kini

Zaman berubah, hidup beragam. Dalam peredaran zaman para perempuan memiliki peran penting menyesuaikan diri di suasana yang berubah itu. Zaman kini perempuan tak lagi cuma sebagai ibu rumahtangga; memasak, mencuci, mengurus anak-suami. Tapi mereka kini melakukan semuanya. Tak lagi di dalam rumah semata.

RENTI
(Kader PKM LPPM Unand 2021)
Editor: Novi Yulia, M.Hum

kato.id

Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Kebutuhan akan uang tak lagi tanggung jawab suami, tapi juga pada para istri. Para istri tahu kalau dari hari ke hari segala kebutuhan makin bertambah dan meningkat. Apatah lagi bila keluarga sudah berpenghuni baru dengan dua atau tiga anak, maka semakin banyak kebutuhan uang dalam rumah tangga.

Tentu akan kembali lagi ke si suami dan istri. Dan mau tak mau si istri pun mesti berpikir lebih keras bagaimana mendapatkan uang tambahan, apalagi bila hidup di negeri orang.

Kemana hendak mengadu bila kekuranga biaya untuk rumah tangga? Tentu tak bisa lagi mencerek, kata orang kampung, ke suami yang juga kalimpasiangan mencari cekeran kemana-mana.

Kampung nan bertuah

Kini rantau tak batuah, pikir Fitri. Ibu muda dengan beberapa anak ini. Ia pun memutuskan pulang ke kampungnya, ke Jorong Kuok III Koto, Nagari Matua Mudiak, Agam, Sumbar. Ketiga anaknya yang sudah mulai dewasa memerlukan biaya lebih. Sementara sang suami kadang ada kerja, dan sering tidak ada, sehingga sangat mempengaruhi daya beli keluarganya. Sementara perantauannya kini dirasa tak lagi menjamin kehidupan keluarga mereka. Ia pun akhirnya memutuskan pulang kampung. Kini lautan sati, kampuang bertuah.

Fitri kembali ke masa kecilnya, menjadi petani lagi. Ia memulai hidup dengan giat. Ke  sawah. Memetik cabe di kebun. Ikut bekerja bersama orang kampung ke kebun atau sawah mereka. Seiring ketekunannya, Fitri pun sering terpaksa menolak tawaran bekerja di tempat lain. Bukan apa-apa, tapi rasa lelah semata. Meski demikian, hasilnya alhamdulillah. Lumayan dapat membantu keuangan keluarganya.

Selain bekerja ke tanah orang lain, Fitri mulai membenahi tanah warisan keluarganya. Ia mulai mencangkul dengan rajin. Menyiangi tanaman semak yang menutupi lahannya. Dengan cekatan ia menaman bibit cabet rawit yang kini jadi tanaman idola di Jorong Kuok III Koto, Matua Mudiak. Hasil memang tak mendustai proses. Dengan mengelap peluh yang bercucuran di dahinya, Fitri tersenyum menyaksikan tanaman cabe rawitnya sudah bisa ia panen hari ini.

Berdikari

Sanang bana rasonyo hasia jariah payah surang. Usaho surang. Akhirnyo lah bisa pulo lado dijua. Yo bana dak manyangko do, makasih ya Allah,” ungkapnya dengan bahasa khas Kuoknya pagi itu.

Mandehnya yang datang membantu Fitri memetik cabe rawit ikut senang. Ia bahagia anaknya kini telah tampak senang. Perlahan dia membantu Fitri memetik cabe rawit mereka yang panen pertama hari ini. Tapi Fitri tampak bersungut-sungut karena mandehnya banyak melewatkan anak cabek yang mesti dipetiknya.

“Maklumlah, Nak. Mato tuo tentu alah lamo bapakai. Biaso banyak nan tatingga,” hibur mandehnya. Fitri senyum senang mendengar kata mandehnya.

Kini Fitri sedikit berlega hati karena beban keluarga dapat juga teringankan dengan hasil panen cabe rawitnya. Apa yang Fitri lakukan sebagai istri dan ibu patut kita ancungi jempol. Ia tak mudah putus asa. Dan tak pula malu kembali ke kampung. Ia mau membangun kampung yang telah lama ia tinggalkan. Salut buat Fitri, semoga menginspirasi kalian semua yang di rantau ya gaeis…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *