Mistik dan Kekuasaan Dalam Novel Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit Karya Damar Shashangka

Foto https://www.goodreads.com/book/show/20329514-sabda-palon-4

Mistik dan kekuasaan merupakan; sebuah kajian baru yang secara khusus membahas tentang fenomena dunia mistik dan kekuasaan dalam suatu teks karya sastra; dan bagaimana mistik mempengaruhi suatu masa atau peradaban. Pada karya ini, saya menggunakan metode kualitatif-deskriptif menafsirkan mistik dan kekuasaan menggunakan counter hegemoni Gramsci. Dunia mistik dengan kekuasaan pada dasarnya selalu terhubung.

Suria Dewi Fatma
Penulis

Pendahuluan

Penggunaan dunia mistik dalam kekuasaan bukanlah sesuatu fenomena baru. Para penguasa di Nusantara menggunakan mistik mendapatkan petunjuk. Mereka mendatangi langsung tempat-tempat dianggap sakral dan keramat. Para raja itu mengunjungi area tersebut melalui wangsit melalui mimpi ataupun bisikan gaib. Apa itu mistik?

Mistik merupakan upaya mendekatkan diri kepada Tuhan melalui perantara roh atau kekuatan lain mendatangkan keselamatan dalam hidup. Stange (1998: 119) mengungkapkan mistik merupakan fenomena psikis dan gaib. Ia mengacu pada dunia kebatinan, spiritual dalam pengalaman religius, atau mengacu pada kepercayaan dalam aktivitas hidup. Selain itu mistik juga berkaitan erat praktek-praktek yang berakar pada tradisi kearifan spiritual pribumi.

Tinjauan ide

Sejalan dengan itu, Abimanyu (2014: 15) memahami mistik sebagai suatu upaya spiritual mewujudkan hubungan-hubungan sosial yang berlaku di masyarakat. Mistik sebagai sebuah paham (mistisisme) bermakna memberikan ajaran yang sesuai tindakan ataupun perbuatan yang adiluhung atas dasar dorongan akhlak mulia. Misal ajarannya berbentuk rahasia atau serba-rahasia. Tersembunyi. Gelap. Atau terselubung. Semua itu hanya dikenal, diketahui, atau dipahami orang-orang tertentu saja.

Istiaty D (2003) menegaskan istilah mistik dalam dunia Jawa merujuk wacana budaya spiritual yang dianut oleh sebagian masyarakatnya. Mistik sebagai pengetahuan mempengaruhi pola pikir manusia yang muncul dalam bentuk budaya. Koentjaraningrat (1984: 403) menjelaskan pandangan hidup ilmu mistik (kejawen) kehidupan manusia merupakan bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya bagian sangat kecil dari kehidupan semesta yang abadi.

Kehidupan manusia itu beribarat mampir ngombe dalam rangka perjalanan panjang mencapai tujuan akhir. Bersatu dengan Tuhan. Syarat manusia sampai tujuan akhirnya dengan; rela melepaskan segala milik dan pikiran untuk memiliki. Bebas pengaruh dan kekuasaan kebendaan. Harus menerima nasib dan memiliki sikap sabar. Pengendalian dengan melalui semedi atau meditasi.

Berbeda halnya dengan Jong (1976: 10). Jaiz melihat mistik sebagai salah satu bentuk visi dasar dari Javanisme. Mistikisasi Jawa bermanifestasi dalam bentuk kepercayaan dan keyakinan tentang adanya Tuhan. Dunia tak kasat mata dan makhluk gaib. Mulder (dalam Endraswara, 2003: 232), membagi 4 tahapan mistik di antaranya, Sarengat (menghormati dan hidup sesuai hukum-hukum agama). Tarekat (kesadaran tentang hakikat tingkah laku). Tahap pertama harus berinsyaf lebih dalam dan meningkat.

Hakekat (tahap menghadapi kebenaran). Tahap berkembangnya secara penuh kesadaran akan hakekat doa dan pelayanan kepada Tuhan. Makrifat (ketika manusia mencapai jumbuhing kawula lan Gusti). Jiwa seseorang terpadu dengan jiwa semesta dan tindakan manusia semata-mata menjadi laku, kehidupan seseorang menjadi doa terus-menerus kepada Tuhan (Jaiz, 1980: 30).

Pada karakteristik orang Jawa kekuasaan berikat pada kegaiban atau dunia mistik. Mereka masih tetap memegang-teguhn prinsip-prinsip ajaran leluhur. Orang Jawa meyakini tentang adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan yang dapat membantu atau memberikan pengaruh pada kekuasaan.

Paham kekuasaan Jawa bersifat adikodrati. Berhubungan dengan dunia kegaiban, seperti wahyu, kekuatan-kekuatan spiritual yang terdapat pada benda-benda pusaka, dan tempat-tempat yang sakral atau keramat. Kekuasaan atau kasektean  mereka peroleh melalui cara-cara metaempirik-spiritual.

Dampak pemahaman ini adalah tidak adanya pertanyaan kritis atas sah atau tidaknya kekuasaan tersebut diperoleh. Rakyat cenderung tunduk. Mereka meyakini hal yang ilahiah atau adikodrati bersifat mutlak. Mereka tidak boleh bertanya ataupun mengkritisi. Karenanya akan sulit mendapatkan pertanggungjawaban moral akan hal tersebut

Penggunaan mistik di masa Majapahit mendapatkan petunjuk dan wejangan dari ruh dan pelindung Nusantara, yakni Semar dan Sabda Palon. Biasanya kedua tokoh tersebut memberikan wejangan berupa saran dan masukan tentang peristiwa yang akan terjadi di masa datang, dan bagaimana cara untuk mengatasinya. Dalam hal ini, wejangan mereka berikan tidak bersifat mutlak. Bisa diterima atau tidak. Tidak terdapat unsur pemaksaan kehendak.

Pudarnya surya Majapahit

Tulisan ini menjelaskan hubungan mistik dan kekuasaan dalam novel Sabda Palon Pudarnya Surya Majapahit karya Damar Shashangka. Beberapa tulisan tentang topik ini telah diurai beberapa penulis berikut. Abdul Chalik (2015), “Sintesis Mistik Dalam Kepemimpinan Politik Jawa”. Salman Luthan (2000), “Dialektika Hukum dan Kekuasaan”. Gusti Bagus Diartha Trisna (2018), “Analisis Unsur Mistik dalam novel The Sinden karya Halimah Munawir dan Kaitannya dengan Pembelajaran Sastra Di SMK”. Novita Setyaningrum (2016), “Mistik Kejawen dalam Antologi Cerkak Malaikat Jubah Putih karya Nono Warnono”.

Herning Puspitasari (2014), “Hegemoni Mitos Nyai Roro Kidul Terhadap Kekuasaan Jawa Dalam Novel Sang Nyai Karya Budi Sardjono”. Zaenudin Bukhori (2012), “Mistisisme Islam Jawa: Studi Serat Sastra Gendhing Sultan Agung”. Deftita Yusantia (2018), “Mistik dalam Novel Gentayangan Pilih Sendiri Petualangan Sepatu  Merahmu karya  Intan  Paramaditha  Tinjauan  Sosiologi Sastra”. Yona Arisma Putri, “Analisis Mistik Magis dalam Kumpulan Cerpen Satu Hari Yang Ingin Kuingat karya Yetti A.Ka Tinjauan Semiotika”.

Artikel tersebut di atas, belum ada secara utuh mengupas tentang mistik dan kekuasaan dalam novel kajian dalam artikel ini. Tulisan ini lebih dalam menguraikan relasi mistik dan kekuasaan dalam novel Sabda Palon Pudarnya Surya Majapahit karya Damar Shashangka melalui teori hegemoni Gramsci.

Kejawen

Mistik dan kekuasaan dalam novel tergambar melalui Bhre Kertabhumi melakukan perjalanan spiritual ke Gunung Mahameru. Kepergiannya untuk mendapatkan petunjuk secara niskala (kegaiban) tentang nasib dan masa depan Majapahit masa akan datang. Gunung Mahameru merupakan gunung para dewa. Tempat menyatu alam manusia dan alam para dewa. Banyak para penguasa kerajaan besar ataupun kecil datang ke tempat ini mendapatkan petunjuk. Mereka melakukan semedi atau meditasi mendapatkan jawaban atas situasi dan kondisi, semisal perang saudara, perebutan kekuasaan dan penghianatan kalangan istana.

Laku, tapa brata dan ngelmu kasampurnaan merupakan cara atau syarat memperoleh petunjuk tersebut. Selain melalui laku dan ngelmu kasampurnaan, penguasa juga berharap menciptakan stabilitas kerajaan dan pemerintahannya. Keberhasilan sang raja menjadi mediator alam makro dan mikrokosmos, akan melahirkan sebuah kerajaan yang bebas dari ancaman musuh, peperangan, kekeringan, penyakit, kelaparan dan bencana alam.

Masyarakat Jawa memiliki khasanah budaya yang beragam dan filsafat berkehidupan yang luas. Mereka memiliki sistem kepercayaan yang khusus bernama kejawen. Endraswara (2006:3-4), menyatakan religiusitas Jawa tidak lain adalah mistik kejawen. Kejawen sendiri memiliki arti sebuah kepercayaan masyarakat suku Jawa (Petir, 2014:20).

Kejawen tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik (Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, dan Budha). Pengikutnya melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang berbarengan dengan laku. Simbol-simbol laku ini melibatkan benda-benda dari tradisi. Mereka anggap asli, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga, sesajen, dan sebagainya.

Counter hegemoni

Counter hegemoni dalam “mistik dan kekuasaan yang terdapat dalam novel Sabda Palon Pudarnya Surya Majapahit karya Damar Shashangka” tergambar melalui kepercayaan Bhre Kertabhumi dan Sayyid Ali Rahmad terhadap sang penguasa kegaiban, yakni Semar dan Sabda Palon yang dapat dilihat pada bagian bawah ini.

Sarwa hayu ikang katemwan! Pejamkan matamu Rahmad. Diam! diamkan kesadaranmu! Kesadaranmu, budhimu, adalah air! Semakin kesadaranmu tenang, semakin besar air jiwamu. Cukup kulup sekarang buka matamu. Yantra ini sudah tidak berguna lagi. Jangan ada darah yang tercurah! Cukup sudah! Sarwa hayu, Kulup! (Shashangka, 2016: 52-53)”.

Pada konteks ini, sosok Semar memberikan petunjuk bahwa air jiwa yang terpancar dari dalam diri Sayyid Ali Rahmad dapat memusnahkan yantra tersebut. Dalam konteks ini, air jiwa merupakan simbol dari jiwa yang tenang dan jiwa yang damai. Artinya, untuk menyelesaikan segala macam persoalan hendaknya menggunakan akal dan pikiran yang jernih, serta tidak buru-buru mengambil keputusan ataupun tindakan. Air jiwa juga bermakna sebagai air murni yang muncul dari dalam diri manusia.

Air jiwa menjadi kunci dari pemusnahan yantra, karena unsur api hanya dapat kalah oleh unsur air. Begitu juga halnya angkara murka hanya dapat kalah melalui menyebarkan kebaikan.

Selain Sayyid Ali Rahmad, Bhre Kertabhumi juga merupakan salah satu orang yang beruntung mendapat wejangan dan petunjuk secara niskala oleh sosok Semar yang tidak lain adalah ruh pelindungnya Nusantara. Salah satu wejangannya.

……Kulup! Waktunya sudah hampir tiba. Jangan biarkan kelemahan menguasai hatimu! Aku sekedar memberi petunjuk semata. Selebihnya dirimu sendiri yang akan memutuskan (Shashangka, 2016: 187)”.

Pernyataan di atas mengindikasikan waktu kehancuran Majapahit sudah di depan mata. Perlu sikap tegar dan kesatria menghadapi setiap ujian yang datang. Bhre Kertabhumi tidak boleh membiarkan hatinya lemah. Kelak pada masa itu, dia akan memegang kendali, dan mencari solusi atas tiap-tiap peristiwa yang terjadi. Seorang raja adalah simbol dari kejayaan dan kekuatan. Jika seseorang pemimpin lemah hatinya, maka pasti bencana yang datang akan jauh lebih besar lagi. Tak bisa mereka kendalikan, seperti penjarahan, pembunuhan dan pembantaian di tiap-tiap kawasan Majapahit.

Sang Semar

Semar memberikan petunjuk terkait situasi dan kondisi yang akan terjadi pasca pudarnya pesona Majapahit. Bhre Kertabhumi harus mampu mengambil sikap atau tindakan yang tepat tanpa mengorbankan kepentingan dan hajat hidup orang banyak.

Petunjuk lain Bhre Kertabhumi dapatkan kala memakan daging kijang masakan para prajuritnya. Ia mendengar suara yang sangat jelas dan menggema pada telinganya.

Kadi kidang apapan-papan, papan kapapan temahnya papal!”. Kijang  pengembara, penuh kemalangan, dan akhirnya patah jadi dua (Shashangka, 2016 : 182-183)”.

Begitulah nasib Majapahit  pada masa akan datang. Kijang merupakan binatang sangat lincah, dan memiliki tanduk yang bercabang-cabang. Tetapi ia tidak mampu bersembunyi di dalam hutan karena tanduknya yang tidak memungkinkan untuk itu. Seperti itulah keadaan Jawa dan Nusantara setelah kehancuran Majapahit. Keindahan Jawa dan Nusantara seumpama kijang pengembara yang mudah diambil dan dirampas bangsa pendatang.

Adapun maksud kijang pengembara kemalangan dan patah jadi dua memiliki makna, bahwa setelah Majapahit runtuh. Pulau Jawa dan Nusantara akan menjadi jarahan dan rebutan bangsa pendatang. Pada masa itu tidak ada kebanggan. Mereka akan menjadi budak.

Peristiwa mistik juga terjadi ketika Bhre Kertabhumi melakukan semedi atau meditasi untuk melihat masa depan Majapahit. Ia mendapati satu persatu kejayaan Majapahit runtuh. Hancur dan tidak dapat bangkit lagi.

Mistik Kerthabumi

Dia merasakan dirinya duduk di atas singgasana Majapahit. Dia merasakan dirinya telah menjadi Bathara Ring Majapahit! Semua tandha terpanggang api. Semuanya! Mereka menggelepar kepanasan. Mereka sekarat. Ada yang sudah tak bergerak. Mati. Ada yang berguling-guling menahan panas. Ada yang lari ketakutan dengan tubuh terlalap api. Tapi tidak. Masih ada tandha yang tidak ikut terpanggang. Walaupun mereka berdiri di tengah bara api, walaupun mereka melangkah di antara kobaran api, mereka tidak terbakar. Wajah mereka kabur, tidak jelas. Wajah mereka memerah semerah api. Tubuh mereka pun memerah karena berlumur darah. Dan lebah-lebah itu datang sembari menjatuhkan batu-batu membara. Mereka berputar-putar menebar batu-batu itu ke segenap sudut kedathon Majapahit. Tiada yang luput. Tiada yang terlewat. Luluh lantak sudah kedathon. Dan dirinya juga baru menyadari bahwa singgasana yang didudukinya juga terpanggang. Terdapat banyak arca dewa yang terlalap api. Semua tempat telah membara. Bahkan singgasananya sendiri pun dikepung api. Tapi anehnya dia tidak terbakar.

Belum selesai menyadari keadaan yang luluh lantak. Tiba-tiba muncul serombongan tikus. Tikus-tikus itu keluar dari kedathon. Menerobos bara api dan lagi-lagi tidak terbakar. Tikus-tikus itu tampak membawa sesuatu di mulutnya: biji-biji padi. Rombongan tikus itu semakin banyak saja. Mereka bejubel memenuhi paseban, berlari dalam satu arah, keluar dari kedathon. Cericitnya sangat aneh, terdengar lebih buas, lebih tamak, dan lebih rakus. Kemudian terdengar gemuruh yang begitu dasyat. Gemuruh itu menggetarkan bumi. Gemuruh itu seperti hendak menjarah langit, memekakkan telinga. Lantas angkasa mendadak saja diselimuti awan kelam. Trowulan kehilangan cahaya. Tubuh Bhre Kertabhumi terpaku bagai arca batu. Tak tau lagi apa yang diperbuatnya. Kini Majapahit benar-benar pralaya. Majapahit benar-benar telah sampai pada pralina (Shashangka, 2016: 178-179)”.

Perjalanan spiritual (kegaiban) Bhre Kertabhumi tampak melalui terbakarnya singgasana Majapahit. Terbakarnya singgasana Majapahit, merupakan suatu isyarat bahwa Majapahit akan berakhir. Terbakarnya arca pemujaan para dewa. Ini merupakan suatu tanda dan isyarat berakhirnya masa kejayaan agama Hindu-Budha di tanah Jawa. Berganti agama baru, Islam dengan tuntunan Sayyid Ali Rahmad, atau Sunan Ampel.

Munculnya lebah membawa batu. Munculnya lebah yang membawa batu. Hal ini mengindikasikan akan banyak para penyusup ataupun kaum pemberontak di khususnya wilayah Majapahit. Munculnya segerombolan tikus-tikus membawa biji-biji padi. Artinya akan banyak orang datang ke Majapahit dengan berbagai tujuan dan motif tertentu.

Namun perlahan-lahan memupuk kekuatan, dan kemudian menciptakan konspirasi politik, melakukan perlawanan dengan mengatasnamakan misi kemanusiaan. Munculnya awan hitam dengan petir di Trowulan. Hal ini berarti telah munculnya masa kegelapan di Majapahit.

Sabdo Palon

Selain Semar, Sabda Palon juga merupakan salah satu tokoh tidak kalah pentingnya dalam dunia mistik Jawa. Sabda Palon dikenal dengan ramalan dan prediksinya tentang kehancuran Majapahit yang tergambar melalui munculnya tiga fenomena gerhana bulan dalam satu waktu.

Raden, apakah Raden melihat beberapa bintang yang seolah mengumpul didekat rembulan? Bisakah Raden menghitungnya? Ada berapa jumlahnya? Bhre Kertabhumi menyipitkan mata. Dengan waspada dihitunglah seluruh bintang yang tampak. Dia harus menghitung dengan hati-hati agar bintang yang sudah dihitung tidak lagi ikut terhitung. Dua puluh tujuh paman! yah! Dua puluh tujuh! Sabdo Palon diam sejenak. Itulah waktu bagi Majapahit. Itulah waktu bagi Majapahit Raden. Tinggal dua puluh tujuh tahun lagi!  Dada Bhre Kertabhumi bergetar. Sesingkat itu? Sebenarnya jika Raden jeli, ada beberapa bintang yang redup.  Dia mencoba menghitung bintang-bintang yang redup itu. Semuanya sepuluh buah. Jika Raden bisa menghitungnya, itu berarti masa kehancuran Majapahit masih akan bertahan selama tiga puluh tujuh tahun lagi. Lama setelah itu baru bangkit lagi. Seberapa lama paman? Ratusan tahun lagi. Bagaimana bisa? Karma bumi Kangjeng. Karma bumi (Shashangka, 2016:166-167)”.

Simpulan

Keberadaan mistikisasi dan kekuasaan dalam karya ini bersifat melegitimasi dan mengkonter. Mistik menjadi wadah penyeimbang dan penghubung dua dunia dari perubahan masa dan perubahan waktu. Mistik hadir memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang adanya dunia lain. Pada novel ini mistik tidak bermaksud mendoktrin akal dan pikiran seseorang. Tetapi memberikan saran, masukan, dan wejangan yang bermanfaat untuk kepentingan dan kemaslahatan atau hajat hidup orang banyak.

Penggunaan mistik dalam kekuasaan tidak bersifat menundukkan. Ia lebih bersifat menjaga, memelihara dan melindungi masyarakatnya dari banjir darah pasca perang. Sesuai dengan ramalan Semar dan Sabda Palon tentang prediksi kehancuran Majapahit.

 Referensi :

Abimanyu, Petir. 2014. Mistik Kejawen; Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.

Budiardjo, Miriam. 1991. “Aneka Pemikiran Tetitang Kuasa Dan Wibawa.” Jakarta; Sinar Harapan. Him. 16. Dikutip dari Max Weber. 1982. Wirtschaft und Geselschaft. Tubingen Mohr. 1982.

De Jong, S. 1976, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Kanisius, Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi, 2003, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Adipura, Yogyakarta.

 Jaiz, Amin. 1980. Masalah Mistik Tasauf dan Kebatinan. Bandung: PT. Alma’araf.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : PN. Balai Pustaka.

Moertono, S. 1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi tentang Masa Mataram II, Abad XVI samapai XIX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Rosyadi, Khoirul. 2014. Mistik Politik Gus Dur. Yogyakarta: Jendela.

Shashangka, Damar. 2016. Sabda Palon Pudarnya Surya Majapahit. Banten: Dolphin.

One thought on “Mistik dan Kekuasaan Dalam Novel Sabda Palon: Pudarnya Surya Majapahit Karya Damar Shashangka

  1. Hi,

    We’re wondering if you’d be interested in a backlink to kato.id from our website that has a Moz Domain Authority of 50?

    We charge just $50 (USD) to be paid via Paypal, card, or Payoneer. This is a one-time fee, so there are no extra charges and the link is permanent.

    If you’d like to know more about the site, please reply to this email and we can discuss further.

    Kind Regards,
    Kylie

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *