Kritik Film: Antara Prestasi dan Dilema atas Karya

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Bioscoop_in_Djakarta,_KITLV_123050.tiff

SURIA DEWI FATMA

Latar Belakang

Tingginya animo masyarakat terhadap dunia perfileman Indonesia, mengharuskan semua pihak khususnya para sineas dan tim kreatif untuk dapat bekerja lebih baik lagi, agar karya-karya yang dihasilkan dan dipublish ke khalayak ramai lebih menonjolkan kualitas dan mutu dari karya itu sendiri. Selain karya, kualitas perfileman juga didukung oleh orang-orang profesional yang mampu menginterpretasikan dan mampu menarik realita atau peristiwa yang yang terdapat dalam suatu teks berubah menjadi sebuah gambaran realita yang rill artinya bisa dilihat, bisa disaksikan, bisa dirasakan, bisa dinikmati dan bisa diamati oleh khalayak ramai lengkap dengan set dan penokohannya.

Sebuah karya yang baik adalah karya yang mampu merefleksikan keadaan, situasi dan rentetan peristiwa yang terdapat di dalam suatu teks. Artinya, harus ada ide yang ingin diangkat, diambil dan dijadikan sebagai dasar atau pijakan berpikir oleh seorang kreator untuk memulai karyanya, dimana konsep yang awalnya hanya berada pada tataran imajimasi seorang pembaca digubah ke dalam bentuk film lengkap dengan set, tokoh dan penokohan, latar, alur, lighting, properti, kostum, musik ilustrasi dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, tidak ada yang namanya karya yang sempurna. Kalaupun ada, itupun hanya mendekati “kata sempurna”. Untuk itu, diperlukan peran dari para kritikus film untuk membantu mengevaluasi hal-hal yang dirasa janggal atau bahkan luput dari perhatian tim kreator. Seorang kritikus film juga harus mampu melihat dan mempertimbangkan pilihan yang disediakan oleh kreator tersebut dan melakukan peninjauan kembali terhadap nilai ekstrinsik film serta melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Tak bisa dipungkiri bahwa kritik film akan sangat bergantung pada karya yang dihasilkan, sedangkan disisi lainnya, produksi film juga sangat bergantung pada lingkungan produksi yang menghasilkannya. Dengan demikian, berhubung karya film lebih bersifat kontekstual, maka kritik film juga bersifat kontekstual.

Mengingat konteks film berkaitan dengan lingkungan produksi, maka tugas dari seorang kritikus film untuk membahas dan mengevaluasi nilai intrinsik dari film itu sendiri guna mengukuhkan dan menilai apakah pilihan-pilihan teknis yang telah diambil oleh kreator tersebut sudah tepat sasaran atau tidak. Dengan demikian, dalam melakukan kritik, seorang kritikus bukan hanya sekedar mengkritik tetapi juga harus mempunyai gagasan dan mampu mengevaluasi hal-hal yang dirasa janggal serta mampu melakukan peninjauan kembali terhadap karya agar kedepannya persoalan yang sama tidak terulang kembali. Kalaupun muncul, setidaknya dapat diminimalisir guna memperkecil ruang gerak dari para kritikus film untuk mencari celah / kesalahan terhadap karya film yang telah di publish.

Persoalan Mendasar Perfileman di Indonesia

Persoalan mendasar dari perfileman Indonesia, terletak pada pandangan dan ide para sineas dan kreator yang selalu berkutat pada hal-hal yang bersifat umum dan kurangnya keinginan untuk keluar dari zona nyaman terutama dalam hal menciptakan sebuah karya. Biasanya mereka lebih mengedepankan nilai komersial terhadap karya-karya yang sedang in dan digandrungi oleh khalayak ramai. Sebagai contoh ketika film bergenre horor sedang in di negeri ini, maka para sineas dan kreator berlomba-lomba menciptakan dan melahirkan karya film yang bergendre horor seperti film Sabrina, Ruqyah, Nini Thowok, Keluarga Tak Kasat Mata, Rumah Pondok Indah, Pengabdi Setan, Vila Setan, Gasing Tengkorak, Danur, Jailangkung, Sundel Bolong dan lain sebagainya. Kemudian, ketika selera fanatisme masyarakat berubah ke arah film yang bertemakan islami, maka para sineas dan kreator juga turut berbondong-bondong mengangkat film yang bertema sama dengan konsep penceritaan yang berbeda, diawali dengan munculnya film Ayat-Ayat Cinta. Setelah itu diiringi dengan muncul beragam jenis film dengan mengangkat genre yang sama yakni Ketika Cinta Bertasbih, Wanita Berkalung Sorban, Islam Bukan Teroris, Ketika Tuhan Jatuh Cinta, Air Mata Surga, Ma’rifat Cinta, Assalamualaikum Beijing dan Bulan Terbelah Dilangit Amerika. Artinya apa ? walaupun secara kontekstual cerita yang diangkat tersebut relatif bagus dan dikemas sedemikian rupa dan memiliki nilai komersial yang cukup tinggi, akan tetapi tetap saja terdapat ruang kosong dan celah dari karya yang dihasilkan.

Walaupun demikian, bukan tidak ada karya-karya film yang mumpuni di negeri ini seperti halnya film Laskar Pelangi, Tanah Surga….. Katanya, Sarjana Kambing, Tanah Air Beta, Soekarno, Sepatu Dahlan, Denias Senandung Di Atas Awan, Tanah Mama, Jomblo, Ai Lop Yu Pul, Fight 555, Habibie Ainun, Garuda Di Dadaku, Cahaya Dari Timur, Beta Maluku, Alangkah Lucunya (Negeri Ini), Di Timur Matahari, Chrisye, 22 Menit, 9 Summers 10 Autumns, Merantau, The Raid, Si Doel, Teman Tapi Menikah dan Danur. Semestinya, karya-karya yang seperti ini perlu mendapat apresiasi luar biasa dari semua pihak khususnya terhadap para sineas dan kreator yang sudah bersusah payah menyajikan tontonan yang luar biasa dan sarat akan nilai perjuangan serta makna kehidupan. Perlu diingat bahwa untuk menciptakan sebuah ide, set dan jiwa seorang aktor itu tidaklah mudah, apalagi menggabungkannya menjadi satu kesatuan. Pada jenis film tertentu, perlu dilakukan riset terutama dalam hal pencocokan data, latar peristiwa dan pendalaman karakter tertentu agar didapat hasil yang optimal.

Persoalan lain perfileman di Indonesia juga terletak pada masih berkutatnya pemikiran sang kreator khususnya dalam hal representasi yang selalu sama / meniru para kreator Amerika Serikat, namun persoalan yang paling mendasarnya justru terletak pada bagian nilai instrinsik film, yang kebanyakan hanya mengandalkan keterampilan tekhnis yang kurang memadai, maka tidak mengherankan jika seorang kritikus senior JB Kristanto pernah menyebutkan bahwa “film di negeri ini mengabaikan yang namanya akal sehat”. Dimana representasi tersebut kerap tak tampil sempurna akibat lemahnya elemen dalam penyusunan utamanya yakni kepadupadanan logika internal.

Pembahasan tentang nilai instrinsik, pastinya akan berurusan dengan ketaksambungan logika, editing yang tak koheren, akting yang tak meyakinkan (tak natural / terkesan dibuat-buat) dan sebagainya. Sedangkan disisi lainnya, persoalan justru timbul dari kritikus film itu sendiri karena pada umumnya para kritikus tidak paham tentang bagaimana membahas nilai instrinsik dari sebuah film. Akibatnya pembahasan mengenai film lebih banyak berisi sinopsis film ditambah sedikit data produksi. Hal ini jelas tidak memberikan sumbangan yang berarti baik bagi kreator maupun bagi (calon) penonton. Disisi lain, film sering dikaitkan dengan hiburan / seni pertunjukan sehingga mengakibatkan substansi yang terkandung dalam film itu sendiri tertutupi akibat kelalaian dan keteledoran para jurnalis dan kritikus film yang lebih terhipnotis dengan aktor yang bermain dalam film ketimbang membahas inti karya dan hal-hal lainnya yang perlu dilakukan dievaluasi. Hal ini menunjukkan bahwa seorang kritikus sendiri juga kurang profesional dalam menelaah suatu karya. Jika ingin bersikap netral dan adil, maka ada baiknya seorang kritikus mengenyampingkan terlebih dahulu bentuk rupa seseorang pemain dan fokus kepada objek / karya yang akan dikritik serta hal apa yang mau dievaluasi.

Menelusuri Jejak Kritik Film Indonesia

Menilik keberadaan kritik film mau tak mau membawa perhatian kita pada jejak perkembangan perfilman tanah air. Sejak kelahiran film Indonesia pada tahun 1926 lewat produksi film cerita pertama Loetoeng Kasaroeng, dimana pada masa itu kritik film belum berkembang. Hal ini dapat dimaklumi karena film masih dianggap sebagai sesuatu hal yang baru oleh masyarakat. Meskipun demikian, media cetak pada masa itu sering memuat tulisan yang berisi tentang ringkasan film sebagai informasi terhadap film yang akan tayang di bioskop. Biasanya publish yang semacam ini dilakukan oleh pemilik bioskop atau produser film itu sendiri melalui promosi.

Produksi film Loetoeng Kasaroeng kala itu mendapat perhatian dan apresiasi yang cukup tinggi khususnya dalam Koran mingguan De Locomotief. Sementara itu, surat kabar lainnya telah memuat iklan tentang jadwal penayangan film Loeteng Kasaroeng yang diputar pada tanggal 31 Desember 1926. Dua di antaranya adalah koran Kaoem Moeda dan De Indische Telegraaf. Taufik Abdullah, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan (1993:84) mencatat, “Dalam Kaoem Moeda, bahwa film Lutung Kasarung disebut sebagai film yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh masyarakat Bandung. Tetapi dalam koran berbahasa Belanda De Indische Telegraaf tidak terdapat dukungan publish apapun. sementara berita di rubrik “Bioscoop Nieuws” hanya menambahkan penjelasan: film yang pengambilannya dilakukan di sekitar Bandung.”

Kemudian, usaha pemuatan sinopsis film dalam media cetak berlanjut pada masa pemerintahan pendudukan Jepang. Hal yang menarik untuk dicermati, karena pada masa itu ada sebuah ulasan film yang ditulis oleh Boenjin Koerata dalam Djawa Baroe edisi 1 Januari 1944. Dalam tulisan itu ia menyebutkan bahwa “film telah menjadi media efektif untuk mendidik rakyat, hal ini disebabkan karena minat masyarakat yang tinggi terhadap kesenian”. Akibatnya, kegemaran masyarakat menonton film dimanfaatkan oleh para sineas dan kreator untuk menanamkan nilai-nilai kepahlawanan dan semangat membela ibu pertiwi.

Beranjak dari realita tersebut, dapat kita pahami bahwa tulisan yang mengulas tentang seni bercerita melalui media rekam masa itu telah menjadi saksi perkembangan perfilman di  tanah air. Maka tidak mengherankan jika pada beberapa dekade berikutnya, banyak ditemukan ulasan-ulasan tentang film yang semakin banyak membahas tentang dinamika kehidupan masyarakat dan direpresentasikan melalui film. Ulasan film era 1970-an misalnya, banyak mengamati corak film yang “memamerkan kemewahan”. Dalam kritik film itu dijelaskan bahwa kondisi tersebut muncul karena begitu besarnya pengaruh budaya barat yang masuk ke Indonesia.

Di sisi lain, muncul pendapat berbeda terhadap kecenderungan film-film di Indonesia. Goenawan Mohamad mengungkapkan bahwa persoalan perfilman di Indonesia pada tahun 1974, bersumber dari kelemahan para sineas film khususnya dalam hal menguasai medium film. Ia memandang bahwa latar cerita film-film tanah air begitu terlihat jelas meniru corak sandiwara tradisional. Kendati demikian, walaupun kajian-kajian film melalui media cetak pada masa itu dapat menjadi sebagai panduan dan tolak ukur dalam perfilman tanah air namun tetap saja kritik film di negeri ini tidak mengalami kemajuan. Hal ini disebabkan karena secara kuantitas, kritik film yang bermutu masih sangat jarang ditemui. Padahal, di tengah kuatnya pengaruh film-film impor pada 1970-an, produksi film dalam negeri mengalami kemajuan yang cukup pesat. Seperti yang dicatat oleh JB Kristanto, terdapat beberapa film terlaris pada masa itu yakni Ratu Amplop dan Karmila yang diproduksi pada tahun 1974, serta Ateng Sok Tahu dan Inem Pelayan Seksi pada 1976 (JB Kristanto, 2004:5).

Alhasil, tanggapan dari masyarakat terhadap film tersebut umumnya hanya merebak dalam perbincangan keseharian. Kondisi ini direkam jelas melalui pemberitaan salah satu media cetak Purna di tahun 1970-an yang begitu intens dalam mengulas persoalan perfilman. Media cetak Purnama edisi 24 Januari 1971, mengulas tentang obrolan dan penilaian kritis masyarakat yang menganggap film-film Indonesia “tidak logis”. Meskipun komentar jalanan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kritik film, namun percakapan masyarakat seputar film tersebut dapat dipandang penting oleh media cetak Purnama, karena dapat melahirkan para pengkritisi amatir yang dapat merangsang kemajuan terutama dalam karya perfilman anak bangsa.

Harapan tentang peningkatan kualitas perfilman di negeri ini kian nyata, yang ditandai dengan semakin berkembangnya kritik film pada tahun 1980-an. Semisal kritik Seno Gumira Ajidarma yang merefleksikan film Indonesia masih bermutu rendah. Seno berasumsi bahwa film-film Indonesia pada masa itu masih terjebak pada pola logika penceritaan yang dangkal, di samping lebih banyak menonjolkan seks, kekerasan, dan komedi.

Kemudian masuk pada era tahun 1990-2000an, dimana film-film Indonesia seolah-olah menerapkan kembali pola lama. Menurut pengamatan JB Kristanto, kelemahan perfileman Indonesia yang tak memiliki “logika dalam” merupakan “penyakit lama” era tahun 1970-an. Bahkan ia pun berani menjustifikasi bahwa kelemahan tersebut terjadi secara turun-temurun sampai memasuki masa awal tahun 2000-an. Tak hanya sampai disitu saja, kritikus lain pun mempersoalkan teknik penuturan dan koherensi cerita yang sulit dipahami dari film-film Indonesia (Irawanto, 2006:82–83).

Lantas, bagaimanakah pekembangan kritik film Indonesia pada beberapa tahun terakhir ? Dalam mengamati kritik film, kita tidak dapat melepaskan diri dari perhatian atas dinamika karya-karya film tanah air. Sebab seperti yang diutarakan Salim Said (1991:15), bahwa perkembangan kritik sangat ditentukan oleh karya-karya film sebagai objek yang dikaji. Tentunya, film-film berkualitas baguslah yang memiliki kesempatan untuk menumbuhkan daya kritis dan penilaian.

Dengan demikian, perkembangan kajian kesenian termasuk kritik film sangat ditentukan oleh karya-karya artistik yang diproduksi. Disisi lain, tulisan-tulisan yang mengulas suatu film pada umumnya terbit dalam surat-surat kabar. Sejauh perkembangan kritik film Indonesia, media cetak terutama koran sangat berperan besar dalam menyebarkan dan mendokumentasikan ulasan-ulasan film. Kondisi ini menjadi gambaran media cetak pada tahun 1970-an yang menunjukkan belum adanya majalah khusus yang mengkaji film secara ilmiah. Maka, seperti dinyatakan A. Margija Mangunhardjana (1976:107), “Terpaksa kritik film menyelip di sana-sini secara tidak tetap dalam harian-harian umum dan majalah-majalah sastra”.

Kritik Terhadap Film Chrisye (2017), Marlina Si Pembunuh Empat Babak (2017) dan Partikelir (2018)

Perfileman di Indonesia semakin memperlihatkan geliatnya dari tahun ke tahun, dibuktikan dengan semakin beragamnya genre film yang tayang di bioskop-bioskop tanah air mulai dari drama, komedi, horor, biography, kolosal dan lain sebagainya. Artinya apa ? Semakin banyak pilihan yang ditawarkan, maka akan semakin selektif para penikmat film dalam menentukan film-film apa saja yang cocok dan layak untuk ditonton. Tentunya hal yang seperti ini akan menjadi sebuah tantangan yang cukup berat bagi para sineas dan kreator karena bagaimanapun, yang perlu digaris bawahi adalah kesuksesan suatu karya terletak pada tingginya animo masyarakat dalam melihat dan menyaksikan film itu sendiri dan begitu juga sebaliknya.

Selain ide, kesuksesan dari suatu karya film juga tergantung dari cara mengemas film itu sendiri. Sebagai contoh salah satu film yang sebenarnya konsep yang diangkat cukup sederhana dan terkesan biasa saja, namun ketika seorang sineas dan kreator berhasil mengemasnya menjadi sesuatu yang melebihi ekspektasi, maka karya yang dianggap biasa saja bisa menjadi luar biasa dan begitu juga sebaliknya, misalnya ada salah satu film yang idenya sangat luar biasa, namun ketika sineas dan kreator tidak dapat mengemasnya dengan baik dan apik, maka film tersebut bisa dikategorikan sebagai film gagal karena antara ekspektasi dan realita jauh berbeda dari apa yang diharapkan, maka perlu kehati-hatian untuk menilai dan menelaah suatu karya sebelum dinyatakan dapat dipublis ke khalayak ramai. Seperti halnya film Chrisye yang tayang pada tanggal 7 Desember 2017.

Dari sisi tema, kisah yang diangkat oleh kreator cukup bagus dan memberikan pandangan tentang apa itu arti perjuangan dalam berkarya dan pentingnya kepuasan batin dalam kehidupan. Wajar saja, kisah ini diadopsi dari kisah nyata seorang maestro musik tanah air yang penuh dengan perjuangan dan lika-liku kehidupan. Untuk set ataupun kostum yang digunakan para pemain, pada dasarnya sudah mewakili kurun waktu yang ada pada masa itu. Diiringi dengan totalitas akting dari seorang aktor Vino G. Bastian yang mampu mereplika sosok Chrisye secara rill, yang semakin menguatkan dan meyakinkan bahwa itu benar rill adalah seorang Chrisye bukan lagi Vino G. Bastian. Namun keadaan berbanding terbalik dengan aktris Velove yang berperan sebagai tokoh Yanti dimana ia belum mampu meyakinkan kepada penonton bahwa saya adalah Yanti dan bukan Velove. Artinya apa ? Velove belum total dalam memerankan karakter Yanti yang mengakibatkan antara tokoh dan karakter yang dimainkan masing-masing berdiri sendiri.

Kemudian keadaan terus berlanjut ketika tidak adanya perubahan wajah yang mewakili rentang waktu dan perubahan tahun. Semestinya semakin bertambah tahun dan semakin bertambahnya usia, hendaknya perlu dibarengi dengan penggunaan make up karakter untuk menguatkan pemain, agar penjiwaannya terhadap tokoh lebih total dan natural. Sementara dalam film ini tidak ada yang berubah, terutama pada sosok Yanti (Velove) yang tetap cantik sampai diakhir cerita walaupun anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Tentunya hal yang seperti ini tidak rill dan perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut agar kedepannya tidak terulang kesalahan yang sama, karena bagaimanapun sekali seorang aktor dipercaya memerankan salah satu tokoh / karakter tertentu, maka diri atau jiwa asli si aktor harus sirna dan digantikan dengan jiwa / karakter si tokoh. itupun jika kita masih mau berpegang teguh pada totalitas.

Salah satu hal yang juga luput dari pantauan kreator adalah munculnya tonggak monorell yang berdiri kokoh persimpangan jalan, walaupun itu hanya sekilas, tapi hal yang demikian agak cukup mengganggu pemandangan. Perlu diingat bahwa pada masa itu tiang beton monorel belum ada. Untuk itu, perlu kehati-hatian agar tidak terjadi bias dalam film yang ditampilkan. Sedangkan untuk para aktor dan aktris pendukung dalam film tersebut, perlu diberikan apresiasi yang cukup tinggi karena secara besikly mereka cukup total dalam memerankan masing-masing karakter, sehingga mampu menutupi kekurangan yang ada pada masing-masing individu. Terlepas dari itu semua, karya film ini perlu diberikan apresiasi yang cukup tinggi.

Kemudian lanjut pada film Marlina Si Pembunuh Empat Babak yang tayang pada tanggal 16 November 2017. Jika boleh bicara jujur, film ini merupakan film terbaik yang pernah saya tonton, karena konsep dan tema yang diangkat cukup bagus serta ada tantangan yang tercipta dari tokoh Marlina yang diperankan oleh Marsha Timoty. Mulai dari terjadinya eksploitasi (pemerkosaan) terhadap tokoh utama hingga terjadinya pembunuhan berencana yang dilakukan oleh tokoh dengan cara menuangkan racun di dalam makanan untuk melindungi dirinya. Hal yang menarik lainnya dari film ini dapat dilihat ketika tokoh  Marlina memenggal kepala orang yang telah memperkosanya kemudian membawa kepala tersebut disepanjang perjalanan. Tindakan yang dilakukan oleh tokoh bukanlah sesuatu hal yang lazim, apalagi dibawa oleh seorang perempuan. Artinya apa, ada pesan moril yang terkandung didalam cerita tersebut bahwa tidak selamanya perempuan itu lemah, tidak selamanya perempuan itu bisa disakiti apalagi dieksploitasi tapi perempuan juga bisa berbuat dan bertindak nekat yang jauh melebihi ekspektasi dan batas nalar dari manusia normal.

Dari sisi pemandangan alam yang ditampilkan dalam film ini sangat luar biasa. Ada kesan rindu dan ingin melihat secara langsung alam yang masih asri tersebut. Perlu digaris bawahi bahwa kondisi alam juga menjadi penentu dalam kesuksesan suatu karya. Adapun kelemahan dalam film ini terletak pada part-part dan durasi yang cukup panjang sehingga agak membuat jemu, semestinya jangan diberikan ruang kosong jikapun diberikan hendaknya diletakkan pada porsi yang semestinya. Jika part jeda antara dialog dan durasi terlalu panjang maka akan menimbulkan kesan monoton. Tentunya, hal yang seperi ini akan merugikan film itu sendiri.

Kemudian ada pada bagian part-part tertentu yang adegannya kurang greget, sehingga terkesan biasa saja dan tidak ada tantangannya. Semestinya untuk film ini, harus dibuka dengan sesuatu yang berbau tantangan dan misteri, misalnya Marlina Memenggal kepala si pemerkosanya, kemudian keluar dari rumah sambil membawa penggalan kepala tersebut dengan tampang datar dan terus berjalan tanpa arah. Artinya apa, seorang penonton akan terpacu adrenalinnya untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh tokoh Marlina. Kemudian cerita beralih ke alur mundur. Mungkin start tersebut jauh lebih bagus dari pada menampilkan sang calon pemerkosa berjalan dan berdialog dengan tokoh Marlina. Kemudian disetiap film hampir semua tokoh berwajah datar, hal ini perlu diwanti-wanti karena yang namanya aktor harus mampu menciptakan dua sisi didalam dirinya seperti di satu waktu ia bisa kuat dan disatu waktu ia bisa lemah. Kemudian di satu waktu ia marah dan di satu waktu ia bisa menangis, di satu waktu ia bisa tertekan dan di satu waktu ia bisa lepas. Artinya perlu adanya ekspresi dan mimik wajah yang tepat untuk menggambarkan keadaan atau peristiwa tertentu khususnya yang terdapat di dalam teks.

Adapun salah satu hal yang luput dari pantauan kreator terletak pada kurang jelinya dalam menghitung jumlah kuda yang dinaikkan ke truck penumpang, dimana kuda yang dinaikkan cuma satu di dalam truk bertambah menjadi satu lagi tepatnya ketika truk yang ditumpangi Marlina dihadang oleh beberapa orang / kawan si pemerkosa yang dibunuh oleh Marlina. Dengan munculnya satu kuda lagi yang secara sengaja diikat di areal tak berpenduduk tersebut terkesan tidak rill. Terkecuali tempat yang disinggahi tersebut terdapat beberapa rumah warga sehingga masih bisa masuk dalam logika berpikirnya. Terlepas dari itu semua, karya film ini perlu diberikan apresiasi yang cukup tinggi.

Setelah itu kita lanjutkan dengan mengupas film Partikelir yang tayang pada tanggal        5 April 2018. Secara umum tema yang diangkat adalah tentang detektif amatir yang mencoba mengungkap oknum pengedar sindikat Narkoba. Konsep yang diangkat adalah detiktif komedi, hanya saja saya belum bisa menangkap maksud dari film tersebut. Jika seseorang telah matang mengangkat tema tentang detektif semestinya peristiwa yang akan mereka ungkap harus disertai dengan alibi, data, temuan dan analisa yang tajam untuk mengungkap suatu kasus. Kemudian si detektif melakukan analisa dengan cara mengurai rentetan kejadian untuk mengungkap alibi dan motif pelaku.

Walaupun dalam film ini besik seorang tokoh berawal dari wartawan liputan investigasi perselingkuhan para artis, tapi setidaknya dia juga memiliki besik untuk menelusuri terlebih dahulu jejak, sumber atau calon target yang akan dituju. Sehingga film ini tidak ada surpricenya dan terkesan biasa saja. Malahan saya sudah mencari-cari tentang dimana letak lucunya film komedi ini, namun hal itu tidak saya temukan, yang ada hanyalah guyonan garing sehingga kurang memberikan respek yang positif terhadap saya sebagai penikmat film.

Kemudian, start film yang terkesan monoton dan ada dibeberapa part / durasi tertentu yang agak panjang sehingga membuat film ini kehilangan ruhnya, ditambah lagi dengan kurang naturalnya para tokoh khususnya pada tokoh utama yang belum bisa keluar dari diri aslinya. Film ini cukup terselamatkan dengan munculnya beberapa komika yang mencoba mencairkan suasana dan mencoba memberikan sesuatu hal yang baru dan unik di dalam goyonannya seperti ketika tokoh utama ditawari sepatu kemudian sepatu solnya rusak, kemudian ditawari lagi ikat pinggang kemudian ditolak dan ketika salah satu benda yang akan dijual melayang dan mengenai salah satu korban justru reaksi dari orang yang terkena benda itu malah biasa saja dan malah tertawa, justru itu memberikan hiburan tersendiri bagi seorang penikmat film.

Jika dilihat dari segi set, set dalam film ini cukup mewakili kedaan, jadi tidak perlu dibahas karena si kreator cukup berhasil menciptakan dan menghadirkan areal strategis sehingga mendukung latar peristiwa yang terdapat di dalam cerita. Apapun jenis karyanya pasti terdapat plus dan minusnya, hendaknya seorang kreator meminimalisir minus yang terdapat di dalam karya agar karya film yang dipublis mendapat apresiasi yang cukup besar khususnya dari para pecinta film di tanah air. Untuk peran pembantu dalam film ini perlu diberikan applause karena strateginya yang luar biasa sehingga mampu menjadi penopang bagi karya film ini. Terlepas dari itu semua, karya film ini perlu diberikan apresiasi yang cukup tinggi.

 Saran

Berhasil atau tidaknya suatu karya / film tergantung dari kreator itu sendiri dan ditambah dengan adanya peran dari seorang kritikus. Dalam hal ini baik kreator maupun kritikus sama-sama memiliki pekerjaan rumah yang tidaklah mudah, di satu sisi seorang kreator sudah harus mampu membuat dan melahirkan karya film yang layak dan tidak lagi berurusan dengan persoalan teknis yang elementer. Meskipun film yang dibuat tersebut akan menjadi sebuah produk komersial, namun para kreator harus tetap memperlihatkan penguasaannya terhadap keterampilan dan teknik supaya terhubung dengan apa yang akan mereka sampaikan. Dengan prasyarat inilah baru sebuah film bisa ditinjau dengan baik, termasuk kemungkinan untuk membongkar secara kritis terhadap cara tutur yang disajikan. Tanpa pemenuhan prasyarat ini, maka tidak akan ada pembahasan yang baik terhadap sebuah film.

Sedangkan disisi lainnya, seorang kritikus mau ataupun tidak mereka harus belajar sebaik-baiknya memahami aspek teknis produksi film. Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mempelajari dan memahaminya, mulai dari merasakan sendiri proses produksi film, berdiskusi dengan para kreator hingga membaca dan melakukan riset mengenai teknik pembuatan film. Hal ini bukan berarti bahwa seorang jurnalis kritikus film yang mendapat penugasan untuk meliput film harus menjadi seorang ahli mengenai teknik pembuatan film. Namun konteks yang dikritik harus sesuai dengan fakta bukan berdasarkan dugaan dan prasangka semata. Walaupun film di negeri ini masih dalam proses pencarian jati diri, namun setidaknya ada harapan bahwa kelak akan semakin banyak lagi para sineas dan kreator yang mampu mengangkat level perfileman Indonesia ke arah yang lebih baik.

 

Referensi :

Abdullah, Taufik, Misbach Yusa Biran, dan S.M. Ardan. Film Indonesia Bagian I (1900–1950). Jakarta: Dewan Film Nasional. 1993.

Becker, Samuel L. Film: Mitos dan Realitas. Terj. Budhy K. Zaman (ed.). Yogyakarta: Laboratorium Ilmu Komunikasi, Jurusan Ilmu Komunikasi-FISIPOL-UGM. 1989.

Gastel, P.A. Van. Resensi Film. Jakarta: Yayasan Prapantja. 1960.

Irwansyah, Ade. Seandainya Saya Kritikus Film, Pengantar Menulis Kritik Film. Yogyakarta: Penerbit CV Homerian Pustaka. 2009.

Kristanto, JB. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2004.

Kristanto, JB. Katalog Film Indonesia. Jakarta: Nalar. 2005.

Mangunhardjana, A. Margija. Mengenal Film. Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius. 1976.

Prajarto, Nunung (ed.). Media Komunikasi; Siapa Mengorbankan Siapa. Yogyakarta: Fisipol UGM. 2006.

Said, Salim. Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1991.

Antologi Tulisan, Membaca Sinema Indonesia. Aprinus Salam (Ed.) Yogyakarta: Institute for Civil Empowerment dan Jurusan Sastra Indonesia UGM. 2011. (Email : suriadewifatma83@yahoo.com)

2 thoughts on “Kritik Film: Antara Prestasi dan Dilema atas Karya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *